Pakar Medikolegal UNAIR Tanggapi Hukuman Kebiri

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
DR. Edi Suyanto, Sp.F, MH saat ditemui diruangannya. (Foto : Arya Ivan Mahendra)

UNAIR NEWS – Kasus pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto telah menjadi pembicaraan di tengah masyarakat. Pada kasus itu, hukuman kebiri kimia dianggap sebagai cara untuk mencapai keadilan. Namun, banyak pihak yang tidak menyetujui hukuman ini diberlakukan. Bahkan, hukuman itu dianggap melawan hak asasi manusia. Saat ditemui di ruangannya, Dr. Edi Suyanto, SpF, SH, MH, selaku Kepala Departemen dan SMF Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUA mengungkapkan bahwa pelaku sebenarnya sudah diberikan hukuman yang sesuai.

“Kasus permekosaan ini sebenarnya sudah diadili sesuai KUHP. Namun karena berkaitan dengan pasal perlindungan anak maka pelaku harus dikebiri. Jadi mengapa harus diadili kebiri (lagi) padahal pelaku sudah diadili sesuai hukum (KUHP)?,” ujarnya.

Selain itu, ia juga mempertanyakan perihal siapa yang akan melakukan eksekusi kebiri kimia pada pelaku. Menurutnya, kurikulum kedokteran tidak mengajarkan pengebirian dan seorang dokter tidak boleh melanggar etika kedokteran salah satunya first do no harm.

“Tidak ada disiplin ilmu di bidang kedokteran seperti anatomi dan biokimia yang mengajarkan kebiri. Sehingga dapat disimpulkan dokter tidak boleh melakukan pengebirian sesuai etika kedokteran dan sebenarnya dokter juga tidak mampu melakukan pengebirian karena di luar kurikulum kedokteran,” ungkap Ketua Badan Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Jawa Timur.

Jika tetap dipaksakan, lanjutnya, persepsi masyarkat terhadap profesi dokter dapat berubah. Citra dokter yang dikenal sebagai penolong dapat berubah menjadi sosok eksekutor.

“Saya khawatir masyarakat akan memiliki prasangka buruk dan menganggap mudah saja seorang dokter merusak tubuh seseorang, masalah-masalah baru khususnya terkait etika keprofesian akan banyak terjadi,” jelasnya.

Ia mengungkapkan bahwa penetapan hukuman kebiri dirasa terburu-buru. Hukuman yang diberlakukan seharusnya merubah perilaku pemerkosa anak. Menurut Dr. Edi, jika pelaku memiliki gangguan kejiwaan yang berkaitan dengan pemerkosaan anak, cara yang tepat adalah rehabilitasi.

“Kebiri tidak menyelesaikan akar dari masalah ini. Seharusnya dalam membuat keputusan ini, tenaga medis diikutsertakan. Kasus ini harus diambil pelajarannya, baik dari sisi pembuat peraturan, pelaku maupun orang tua yang harus lebih hati-hati dalam menjaga anaknya,” tutupnya.

Penulis : Arya Ivan Mahendra

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).