Sebuah pertarungan politik idealnya haruslah terlepas dari isu gender yang bersifat tradisional dan mengekang. Namun, di era postmodern ini, ketika tidak ada satu pun identitas yang bersifat tetap, konstruksivitis atas identitas gender seseorang politikus ternyata masih mempengaruhi citra diri mereka di arena pertarungan politik lintas gender. Pemilihan gubernur Jawa Timur di tahun 2018 lalu yang diikuti oleh dua kandidat dengan identitas gender yang berbeda, yaitu Saifullah Yusuf (Gus Iful) dan Khofifah Indar Parawansa, pun tak bisa terlepas dari polemik konstruksi identitas gender yang masih bersifat tradisional. Sebagai seorang politikus perempuan, tentulah tidak muda bagi Khofifah untuk bertarung dalam sebuah arena pertarungan gurbernur Jawa Timur yang secara budaya dan historis selalu disominasi oleh pria.
Mengutip Carpini & Keeter dalam sebuah jurnal berjudul Gender and Political Knowledge di tahun 2000, bahkan telah menemukan persoalan yang sama yang dihadapi politikus perempuan di Amerika Serikat. Menurut mereka, peran gender tradisional perempuan membuat perempuan enggan berpartisipasi dalam arena politik. Akibatnya, perempuan perlu bernegosiasi lebih banyak dengan ruang publik untuk ikut berpartisipasi di arena politik yang selalu dianggap sebagai arena pria
Kehadiran media sosial kemudian dianggap sebagai sebuah solusi yang tepat untuk menunjukan eksistensi politikus perempuan di tengah arena politik yang selalu dikonstruksi media mainstream dengan begitu maskulin.. Oleh karena itulah, media sosial sekarang dianggap sebagai kendaraan politik yang sangat diperlukan dalam membangun citra identitas politikus. Berdasarkan penelitian penulis sebelumnya, Khofifah Indar Parawansa selalu mengkonstruksikan citra dirinya di media sosialnya sebagai pemimpin dengan karakter dan peran wanita ideal untuk masyarakat patriarki. Khofifah bahkan juga cenderung merepresentasikan dirinya sebagai the second leader setelah wakilnya yang merupakan seorang laki-laki.
Namun, di era budaya partisipatif ini, citra diri yang dikonstruksikan oleh politikus lewat media sosialnya dapat dimaknai berbeda oleh para pengguna lainnya. Salah satu tipe pengguna aktif media sosial saat ini adalah berasal dari kamu milenial. Menurut Mengü (2015) dalam artikelnya berjudul Political preferences of generation Y university student with regards to governance and social media: A study on march 2014 local elections, kaum milenial merupakan generasi Y yang menggunakan media sosial untuk mengekspresikan pilihan dan keputusan politik mereka. Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial Indonesia juga didominasi oleh kaum milenial berusia 15-35 tahun, juga dianggap sebagai 44% dari pemilih potensial dalam pemilihan presiden tahun 2014. Dengan demikian, partisipasi kaum milenial di media sosial merupakan sebuah aktivitas politik yang layak dianggap penting dalam mengamati sebuah arena politik di Indonesia.
Adapun, salah satu bentuk partisipasi politik kaum milenia adalah dengan menghasilkan meme. Kata meme sendiri sebenarnya berasal dari mimema dalam bahasa Yunani, yang berarti sesuatu yang ditiru. Shifman (2014) dalam bukunya berjudul Memes in Digital Culture bahkan berpendapat bahwa meme dapat dianggap sebagai artefak budaya digital yang bersifat partisipatif, sehingga meme dapat digunakan untuk memahami tren budaya saat ini secara bottom-up. Tak jarang dengan memadukan budaya pop dan politik, meme mampu mengarahkan pemilih ke sebuah konstruksi identitas politikus yang berbeda dari apa yang mereka citrakan di media sosial selama ini.
Hal inilah yang juga terjadi pada konstruksi identitas Khofifah sebagai seorang kandidat Gubernur Jawa Timur saat itu. Dari semua meme yang dibagikan oleh kaum milenial di media sosial selama pemilihan gubernur Jawa Timur kampanye dari Februari – Juli 2018, konstruksi identitas Khofifah dimunculkan dengan menegosiasikan banyak hal. Salah satunya, meme-meme yang menampilkan identitas Khofifah dengan karakter sebagai seorang guru dengan Gus Ipul sebagai murid. Konsep ini mengadaptasi sebuah film yang cukup pouler di Indonesia, Dilan.
Dalam meme-meme tersebut, identitas keibuan Khofifah dikonstruksikan dengan sifat feminin yang ideal, namun memiliki sifat pemimpin yang kuat dan berani, meniru sifat-sifat maskulin. Hal ini melegitimasi bahwa arena politik masih dianggap sebagai dominasi laki-laki, sehingga untuk bisa memenangkan arena tersebut haruslah meminjam sifat-sifat maskulinitas.Di meme-meme lainnya, identitas Khofifah lebih dikaitkan dengan karakter Kartini, yang memperjuangkan pendidikan dan hak-hak perempuan dengan berani, berpikir kritis, dan rela berkorban demi peningkatan kehidupan perempuan Indonesia. Adapun konsep dari meme-meme tersebut tidak terlepas dari kepopuleran film Kartini yang diproduksi kembali di tahun 2018. Namun, identitas Kartini yang diwakili oleh Khofifah menjadi lebih Islami karena tanda hijab yang dikenakan oleh Khofifah. Hal ini mengindikasikan suasana politik Indonesia yang sarat akan pengaruh wacana religiusitas.
Dengan kata lain, identitas Khofifah sebagai seorang politikus perempuan lebih dikonstruksikan oleh kaum milenial di media sosial dengan mendialektikakan wacana feminitas dan maskulinitas serta wacana nasionalis dan religiousitas. Hal ini juga dikarenakan, provinsi Jawa Timur memiliki beragam karakter yang mempengaruhi kontestasi arena politik. Beberapa daerah di Jawa Timur dikenal sebagai kota santri, seperti Jombang, Lamongan, Pasuruan, dan Probolinggo. Kota-kota lainnya dikenal sebagai kota industri, seperti Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Pasuruan. Dan, Surabaya sendiri sebagai ibu kota Jawa Timur dikenal sebagai kota pahlawan.
Akibatnya, akan ada selalu persimpangan antara wacana agama, nasionalisme, dan budaya popular urban. Selain itu, identitas Khofifah yang dikonstruksikan kaum milenial di media sosial juga mengadaptasi gaya politik Sengkuni, tokoh antagonis dalam budaya Jawa namun tetap bersifat heroik yang perduli dengan nasib anak bangsa. Ketidakkosistenan konstruksi identitas Khofifah oleh kaum milenial mengindikasikan di era budaya visual ini, kaum milenial cenderung mendefinisikan kembali sosok Khoffifah yang identik dengan tokoh-tokoh populer meskipun dianggap mengadopsi gaya politik Dengan kata lain, pemilih milenium di Indonesia tampaknya lebih mudah terkena dampaknya popularitas dalam mendefinisikan identiitas para pemimpin politik daripada prestasi para pemimpin tersebut.
Penulis: Nurul Fitri Hapsari
Berikut adalah link terkait artikel di atas: https://produccioncientificaluz.org/index.php/opcion/article/view/24116/24560