Staphylococcus aureus pertama kali ditemukan oleh ahli bedah Sir Alexander Ogston tahun 1880. Ia mendapati bakteri bergerombol seperti anggur saat memeriksa cairan purulen setelah operasi, yang kemudian diberi nama staphyle, dalam bahasa Yunani yang artinya segerombol anggur. Pada tahun 1884, Rosenbach dapat mengisolasi koloni bakteri berwarna kuning dari abses yang kemudian diberi nama Staphylococcus aureus, aureus berasal dari bahasa Latin yang artinya emas.
Staphylococcus aureus adalah jenis bakteri yang paling sering disebut dalam patogenesis Dermatitis atopik (DA). Staphylococcus aureus bahkan telah dimasukkan dalam kriteria minor DA menurut Hanifin dan Rajka. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu Staphylococcus aureus. Spesies yang paling virulen dan patogenik pada manusia dari genus Staphylococcus. Staphylococcus aureus pada kulit banyak ditemukan pada area predileksi DA yaitu antekubiti dan fossa poplitea sebagai area yang lembap.Staphylococcus aureus dapat mempengaruhi kondisi tubuh melaluiberbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Staphylococcus aureus juga sangat penting artinya pada dunia kesehatan saat ini oleh karena merebaknya kasus meticillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) sehingga terjadi peningkatan kesulitan dalam penatalaksanaannya.
Peningkatan koloni Staphylococcus aureus pada kulit pasien DA pertama kali dijelaskan pada tahun 1970an. Kulit normal lebih jarang ditemukan koloni Staphylococcus aureus (2-25%) dibandingan kulit pasien DA (30-100%). Diduga kulit pasien DA menyediakan lingkungan yang nyaman untuk proliferasi dan koloni Staphylococcus aureus. Data systematic review oleh Totted dan kawan-kawan (2016), terdapat peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus pada pasien DA dengan nilai odds ratio 19,74 lebih tinggi dibandingkan pasien non DA. Penelitian yang dilakukan oleh Khamidah (2017) di Indonesia juga menunjukkan adanya peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus pada pasien DA dengan nilai relative risk 2,417 dibandingkan pasien non DA. Peningkatan koloni Staphylococcus aureus akibat kombinasi berbagai hal, termasuk defek fungsi sawar kulit, berkurangnya aktivitas antibakteri pada sistem imunitas bawaan, dan ketidakseimbangan respons imun pasien DA. Keseluruhan faktor-faktor ini berperan secara bersama dan tidak saling terpisahkan.
Selain etiopatogenesis, penelitian terbaru pada pasien DA, didapatkan kadar vitamin D yang rendah dibandingkan pasien non DA. Vitamin D dapat mempengaruhi mekanisme imun dengan melalui sifat immunomodulatornya pada immunitas innate dan immunitas adaptif. Fungsi immunomodulator ini digunakan sebagai target untuk mengurangi kekambuhan dan terapi tambahan pada pasien DA. Vitamin D meningkatkan produksi peptida antimikrob terutama cathelicidin. Cathelicidin termasuk salah satu faktor pertahanan kulit terhadap infeksi. Infeksi bakteri, virus, dan jamur yang berulang merupakan salah satu faktor eksaserbasi pada DA. Penelitian mengenai pemberian vitamin D di Indonesia sangat terbatas, maka kami hendak melakukan penelitian mengenai efek vitamin D terhadap penurunan kolonisasi Staphylococcus aureus, vitamin D yang digunakan adalah vitamin D3.
Metode dan Hasil
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental analitik yang mengevaluasi pengaruh pemberian vitamin D3 oral dibandingkan dengan plasebo terhadap kolonisasi Staphylococcus aureus. Sampel penelitian adalah semua pasien DA anak yang memenuhi kriteria penerimaan sampel, yang datang di URJ Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi Dermatologi Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian menggunakan teknik consequtive sampling dalam jangka waktu 6 bulan. Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Seluruh subjek penelitian telah menandatangani informed consent (pasien anak-anak diwakili oleh orang tua). Terdapat dua kelompok subjek penelitian, yakni kelompok subjek penelitian vitamin D3 (yang diberi sirup vitamin D3 400 IU sebanyak 5 ml setiap hari) dan kelompok subjek penelitian plasebo (yang diberikan syrup plasebo sebanyak 5 ml setiap hari).
Dilakukan perhitungan kolonisasi Staphylococcus aureus sebelum dan setelah pemberian vitamin D3 dan plasebo. Pada perhitungan kolonisasi awal sebelum perlakuan didapatkan nilai rerata (mean) pada kelompok vitamin D3 lebih tinggi dibandingkan kelompok plasebo, (nilai mean±SD kelompok vitamin D3 998,1±360,9 dan nilai mean kelompok plasebo 461,1±434,5) pada uji statistik terhadap nilai rerata yakni nilai p = 0,008 , terdapat perbedaan yang signifikan jumlah kolonisasi sebelum diberikan perlakuan pada kelompok vitamin D3 dibandingkan plasebo. Sehingga dilakukan adjusted menggunakan proporsi yakni persentase penurunan (delta %) dari nilai akhir kolonisasi dibandingkan nilai awal kolonisasi. Pada kelompok vitamin D3 didapatkan persentase penurunan sebesar 791,3% dibandingkan dengan pada kelompok plasebo persentase penurunan sebesar 161,5%. Hasil tersebut kemudian dilakukan uji statistik menggunakan uji paired T-test didapatkan nilai p = 0,043. Berdasarkan penelitian ini, vitamin D3 dapat menurunkan kolonisasi Staphylococcus aureus pada pasien dermatitis atopik, dan terdapat perbedaan yang signifikan persentase penurunan kolonisasi Staphylococcus aureus pada kelompok vitamin D3 dibandingkan plasebo.
Penulis: dr. Iskandar Zulkarnain Sp.KK(K)
Informasi detail dari artikel ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://www.ejpd.com/journal/index.php/EJPD/article/view/2001
Zulkarnain I.1, Rahmawati Y.W.1, Setyaningrum T.1, Citrashanty I.1, Aditama L.2, Avanti C.2. 2019. Vitamin D3 supplementation reduced Staphylococcus aureus colonization in the skin of pediatric patients with atopic dermatitis.