UNAIR NEWS – Izin edar merupakan salah satu syarat untuk dapat memasarkan produk pada masyarakat luas, terutama dalam bidang kesehatan. Produk yang membutuhkan izin edar tidak hanya dari kalangan industri tetapi juga inovasi para peneliti. Hanya saja, tidak semua peneliti mau untuk melakukan registrasi izin edar.
Oleh karena itu, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Arianti Anaya, drg. MKM selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan menghimbau peneliti untuk melakukan registrasi izin edar. Acara tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Bisnis Dan Inovasi (LPBI) Universitas Airlangga dengan tema Teaching Industry Dentolaser untuk Mendukung Industri Alat Kesehatan Nasional pada Rabu (9/10/19) bertempat di Ruang Sidang Pleno Lantai 3 Kantor Manajemen, UNAIR Kampus C.
Pada acara tersebut, Arianti menuturkan bahwa terdapat beberapa hal yang harus diketahui bahwa terdapat dasar-dasar hokum, salah satunya terkait keharusan memiliki izin edar. Telah diatur dalam Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2009 di pasal 106 tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan (alkes) dapat diedarkan setelah memiliki izin edar dan pada pasal 104 tentang pengamanan sediaan farmasi dan alkes untuk melindungi masyarakat.
“Jadi bapak ibu, walaupun inovasi kita (peneliti, Red) demikian baiknya tetapi kalau kita tidak memenuhi persyaratan untuk memenuhi standar keamanan mutu dan manfaat, kita tidak boleh mengedarkan alkes itu untuk digunakan,” tuturnya.
Selain itu, Arianti menambahkan bahwa semua merupakan upaya dari pemerintah agar pasien safety. Sebab, obat dan alkes merupakan komponen penting dalam kesehatan, di samping tenaganya.
“Walaupun dokternya secanggih apapun kalau alat kita, contohnya adalah kita implant ortopedi, kemudian implant ortopedi itu alatnya bio probabilitasnya tidak baik, kemudian alatnya akan terjadi karat. Tentunya walaupun dokter memasangya sudah baik, tapi itu menjadi membahayakan pasien. Oleh karena itu diharuskan memiliki izin edar,” tambahnya.
Dalam acara itu pula Arianti juga menjelaskan bahwa setiap produk inovasi baru meski tergolong dalam kelas rendah tetap harus dilakukan uji klinis. Selain itu, uji klinis disesuaikan dengan tingkat risiko alat itu. Semakin tinggi risiko dari alat, maka semakin besar dan semakin banyak uji klinis yang harus dilakukan. Tanpa hasil pengujian, alat kesehatan tidak akan mendapatkan izin edar.
Tidak hanya itu, peneliti harus bekerja sama dengan industri karena yang boleh menggunakan izin edar harus memiliki sertifikat produksi. Sementara persyaratan untuk mendapatkan sertifikat produksi harus merupakan badan hokum, tidak boleh perorangan.
“Tentu dalam hal ini kita harus kerja sama, sehingga dalam kasus registrasi adalah industri, semua dokumen bisa diserahkan dan bisa dilayangkan,” pungkasnya. (*)
Penulis : Asthesia Dhea C.
Editor : Binti Q Masruroh