UNAIR NEWS – Berdasarkan studi yang pernah ada, terdapat lebih dari 50 persen perusahaan di Indonesia belum siap untuk melakukan inovasi. Padahal jargon yang didengung-dengungkan selama ini ialah “Kita harus berinovasi atau mati”. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Sebagaian besar inovasi yang dilakukan perusahaan berasal dari karyawan perusahaan tersebut. Setelah fenomena tersebut muncul, pertanyaan berikutnya adalah mengapa para karyawan tidak berani untuk melakukan inovasi.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian melatarbelakangi Jovi Sulistiawan, S.E., M. SM. dan tim untuk melakukan penelitian. Jovi menuturkan bahwa, kebanyakan penelitian melihat inovasi adalah suatu cara yang harus dilakukan oleh karyawan untuk meningkatkan kinerjanya.
Fokus utama dari penelitian itu yakni meningkatkan perilaku kerja inovatif karyawan. Studi ini mengungkapkan bahwa karyawan cenderung menghindari perilaku inovatif, karena inovasi adalah perilaku berisiko.
Namun ada satu hal yang kemudian mungkin luput dari perhatian orang-orang. Bahwa sebagian besar orang berinovasi untuk meningkatkan citraagar dipandang lebih lebih inovatif.
“Akan tetapi di sisi lain, karyawan cenderung menghindari perilaku inovatif karena inovasi adalah perilaku yang berisiko. Jika inovasi gagal, maka akan menghancurkan image yang sudah dibangun,” jelasnya.
Penelitian terdahulu hanya memandang dari sudut pandang sosial politik dengan menggunakan variabel image gain dan image risk. Kemudian, penelitian ini ada variabel tambahan, yaitu variabel yang membahas tentang self-presentition. Self-presentation (presentasi diri) mengacu pada keinginan kita untuk menampilkan sebuah citra dihadapan orang lain.
“Semakin tinggi self presentation seseorang, maka kecederungan untuk ingin berinovasi juga akan semakin tinggi dengan motif ingin meningkatkan image,” imbuhnya.
Menurut Jovi, ada tiga komponen utama yang akan mendukung karyawan uktuk melakukan inovasi. Di antaranya yaitu dukungan oleh organisasi, dukungan atasan dan dukungan rekan kerja. Dari ketiganya, ternyata yang cukup berpengaruh terhadap perilaku inovasi itu justru dukungan dari organisasi dan dukungan dari rekan kerja.
“Dukungan dari atasannya malah tidak berpengaruh,” tambahnya.
Hal tersebut sangat bertentangan dengan penelitian terdahulu dan beberapa teori lain. Temuan yang mengejutkan dari penelitian ini ialah kualitas hubungan antara karyawan dan rekan-rekan mereka tidak memengaruhi risiko citra karyawan. Selain itu, pemantauan diri tidak memoderasi hubungan antara perolehan citra yang diharapkan dan perilaku kerja inovatif.
Dalam penelitiannya, Jovi memaparkan ada beberapa cara untuk mengurangi risiko sosial. Pertama, dengan memberikan dukungan kuat bagi karyawan yang terlibat dalam kegiatan inovasi.
“Selanjutnya, atasan juga memiliki peran penting dalam mengurangi risiko sosial karyawannya,” tutupnya. (*)
Penulis : Sandi Prabowo
Editor : Khefti Al Mawalia
Referensi :
Sulistiawan, J., Herachwati, N., Permatasari, S.D., Alfirdaus, Z. 2017. The antecedents of innovative work behavior: The roles of self-monitoring