UNAIR NEWS – Kabar menginspirasi datang dari alumnus Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Vania Santoso. Dara yang aktif dalam gerakan sosial di bidang lingkungan itu menjadi wakil satu-satunya Indonesia dalam ajang Youth Climate Leaders (YCL) 2019. Sebuah konferensi iklim untuk anak muda yang dihelat PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di Amerika Serikat pada awal Oktober lalu.
Yang istimewa, Vania menjadi salah seorang di antara 100 Climate Leader terpilih, menyisihkan sebanyak 7.000 pelamar dari seluruh dunia. Atas keikutsertaanya itu, Vania berkesempatan memberikan paparan tentang bagaimana dirinya mengelola sampah dan menjadikannya peluang berbisnis melalui Hey Startic.
Ditemui beberapa waktu lalu, Vania mengaku sangat bersyukur atas kesempatan yang diberikan Tuhan itu. Di Youth Climate Leaders (YCL) 2019, ia bertemu dengan berbagai anak muda yang peduli lingkungan dari berbagai negara di dunia.
”Fokus konsep kepedulian lingkungan mereka (100 peserta Youth Climate Leaders 2019, Red) juga sangat beragam. Ada yang mengangkat tentang energi terbarukan, sampah, kebakaran hutan, dan banyak lagi,” tuturnya.
”Kesempatan bertemu dengan mereka-mereka ini menambah inspirasi dan gambaran bagaimana aku ke depan berkarya lagi,” imbuhnya.
Kesempatan tergabung dalam konferensi bergengsi itu tak terlepas dari social innovation yang digagas Vania bersama Sang Kakak Agnes Santoso sejak tahun 2004. Dan, berlanjut mulai merambah bisnis pada tahun 2010 melalui Hey Startic. Yakni, sebuah brand development untuk ecopreneurship milik Vania.
Melalui produk itu, Vania ingin meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat terhadap sampah. Yakni, melalui upaya sosialisasi yang lain. Misalnya, terwujud alam produk-produk hand craft yang tak kalah keren dengan produk yang bukan dari bahan daur ulang.
”Di sini, kita lebih nunjukkin kayak misalnya story telling (edukasi ke masyarakat, Red) itu bisa lho lewat produk fashion. Jadi, yang kayak Vani bikin. Kita menceritakan bahwa produk-produk daur ulang itu juga bisa fashionable lho. Produk daur ulang itu jadi salah satu cara kita edukasi ke masyarakat,” jelasnya.
Vania mencontohkan saat ada seseorang yang bukan berlatar belakang aktivis lingkungan tiba-tiba tertarik dengan produk daur ulang. Saat itu pula edukasi mengenai bagaimana mengelola dan memanfaatkan sampah itu terjadi. Yakni, melalui penjelasan atas jawaban rasa penasaran masyarakat terhadap produknya itu.
”Dari situ juga, kita bisa cerita lebih banyak soal isu-isu lingkungan yang ada di sekitar kita. Pada akhirnya, itu jadi bentuk edukasi kepada masyarakat,” katanya.
Selain itu, kepada anak muda, terutama mahasiswa, Vania berpesan untuk tak menyederhanakan penggunaan sampah plastik. Sebab, saat ini lingkungan menjadi salah satu isu yang hangat dibahas di berbagai negara di dunia. Khususnya bahan pengganti plastik.
”Jangan ngremehin pakai satu sedotan plastik. Coba kalo seluruh dunia juga pakai satu sedotan plastik, bagaimana kemudian sampah plastik itu? bagaimana bumi kita ini ke depan?,” tuturnya. (*)
Penulis: Feri Fenoria Rifa’i