UNAIR NEWS – Dari masa ke masa, cara untuk mendeteksi penyakit pada gigi hanya terpaku ketika sudah terasa sakit dan parah. Sama halnya untuk mendeteksi pembusukan bahan makanan, yang hanya melihat dengan kasat mata dan sentuhan yang terkadang dapat mengecoh.
Hal tersebut melatar belakangi Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si., bersama tim Anak Agung Surya Pradhana bekerja sama dengan Dr. Kuwat Triyana dari Universitas Gadjah Mada mengembangkan Elektronik Nose (E-Nose). Sebuah perangkat untuk deteksi dini penyakit gigi dan mulut serta kualitas bahan makanan.
“Saat ini yang berkembang E-Nose itu di UGM dengan peneliti Dr. Kuwat. Beliau bekerja sama dengan Mabes Polri untuk mendeteksi narkoba,” ujar Suryani.
Bersama Suryani, Kuwat sharing tentang potensi E-Nose untuk deteksi dini penyakit. Sebab, UNAIR adalah kampus dengan bassic kesehatan. Hasil diskusi lebih lanjut keduanya dengan dokter gigi Prof. Dr. Ernie Maduratna Setiawatie, drg. M.Kes. Sp. Perio (K) dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UNAIR semakin meningkatkan motivasi untuk memperdalam dan menerapkan penggunaaan sensor larik gas itu.
Prof Ernie dosen sekaligus dokter gigi FKG UNAIR mengatakan bahwa selama ini umumnya pasien datang ke dokter dalam keadaan gigi sudah sakit. Sehingga, deteksi dini perlu agar dapat dilakukan antisipasi.
Suryani menjelaskan bahwa E-Nose merupakan sebuah perangkat yang meniru cara kerja dari penciuman hidung manusia. Secara teknis, perangkat tersebut menggunakan sensor gas yang dapat memberikan respon terhadap aroma tertentu.
Respon sinyal yang dihasilkan E-Nose terhadap aroma tertentu akan dianalisa menggunakan perangkat lunak pengenalan pola, sehingga dapat dianalisis dan diidentifikasi. Jika dibandingkan dengan teknik analisis lainnya, seperti kromatografi gas, maka sistem hidung elektronik dapat dibangun dan bisa memberikan analisis sensitif dan selektif secara real time.
Memiliki dua tahap penelitian
Penelitian E–Nose untuk deteksi dini penyakit gigi ini terdiri dari dua tahapan. Yakni, in vitro (skala laboratorium) dan klinis. Tahap in vitro bertujuan untuk pembelajaran E–Nose tentang aroma berbagai bakteri penyebab penyakit gigi. Tahap ini telah dilakukan oleh alumnus S2 Teknik Biomedis Yanuar Mukhammad dan Sirlus dengan pembimbing kedua Dr. Riries Rulaningtyas. Penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan E-Nose dilakukan oleh Anak Agung Surya Pradhana, salah seorang mahasiswa S2 Teknik Biomedis UNAIR.
Surya menjelaskan, pada E–Nose ini terdapat enam buah sensor gas seperti hidung manusia yang memiliki reseptor dan memori. Dari reseptor, data dikirim ke tempat penyimpan data (database). Kemudian, data tersebut digunakan untuk melatih E–Nose dengan algoritma statistik pohon keputusan (decision tree). Sehingga E-Nose mampu mengklasifikasikan sampel.
“Penelitian in vitro di skala laboratorium berfungsi untuk mengumpulkan data gas yang akan digunakan sebagai pembelajaran terhadap karaketeristik berbagai bakteri penyebab penyakit gigi. Seperti bakteri S. mutan, A.a, P. Gingivalis, E. faecalis dan sebagainya,” terang Surya.
“Algoritma yang digunakan untuk melatih E–Nose tersebut melakukan klasifikasi bakteri-bakteri tertentu berdasarkan pola gas yang dihasilkan. Hasil pelatihan pengenalan pola menggunakan Algoritma pada in vitro digunakan sebagai referensi saat pengujian e nose secara klinis,” tambahnya.
Hasil Uji Coba
Surya menambahkan, hasil dari uji coba yang dilakukan saat in vitro menunjukkan hasil yang bagus. Berbagai bakteri menghasilkan konsentrasi bau yang berbeda-beda tergantung pada jumlah hari penyimpanannya. Penelitian tersebut menggunakan sensor MQ2, MQ3, MQ7, MQ8, MQ 135, dan MQ 136 yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Contohnya sensor MQ 135 yang spesifik untuk mendeteksi ammonia.
“Jadi ada sensor yang spesifik untuk karbon dioksida ada juga yang untuk amoniak. Pada bakteri gigi umumnya bau yang dikeluarkan adalah jenis amonia. Hasil uji coba pada biofilm berbagai bakteri gigi menunjukkan adanya karakteristik fisis yang berbeda-beda pada berbagai bakteri. Sedang uji coba pada ayam yang diberi kuman E-coli menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan tanpa adanya E.coli,” tambahnya.
Cara Penggunaan
Dyah menambahkan, penelitian tersebut menggunakan sensor larik gas khusus. Untuk deteksi penyakit gigi disarankan menggunakan sampel biofilm yang diambil dari gigi/gusi pasien dan ditumbuhkan pada media baru dideteksi. Metode tersebut akan menghasilkan data yang spesifik untuk karakteristik bakteri tertentu.
Metode yang lain dengan menggunakan sampel saliva. Namun, penggunaan saliva menghasilkan data yang kurang spesifik, karena bau yang dihasilkan tidak hanya berasal dari mikroba penyebab penyakit gigi.
Selain untuk kesehatan, E-Nose juga telah banyak digunakan untuk deteksi kualitas bahan makanan. Antara lain kualitas susu, daging, ikan, ayam, dan sebagainya. Hasil penelitian untuk deteksi kualitas daging ayam oleh Haidar Tamimi dengan pembimbing kedua Dr. Miratul Khasanah, M.Si. menunjukkan perbedaan pola gas yang terdeteksi oleh sensor karena adanya penurunan kualitas daging berdasarkan masa simpan dan aktivitas bakteri yang mampu dikenali oleh E–Nose.
“Dengan menggunakan sensor ini, kita bisa mengklasifikasi kualitas daging berdasarkan masa simpan maupun aktivitas jenis bakteri yang mengkontaminasi bahan makanan. Dan ternyata, semakin lama masa simpan daging ayam tidak menjamin konsentrasi gasnya semakin meningkat, dikarenakan pada jam tertentu protein yang terkandung di dalam daging ayam sudah habis. Jadi setiap jam ada pola khas dari gas yang dihasilkan. E–Nose mampu untuk membedakan kualitas daging ayam,” ujarnya.
Dengan adanya riset tersebut, Dyah berharap dapat menghasilkan karya-karya berbasis inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan harga murah. (*)
Penulis: Asthesia Dhea
Editor: Binti Q. Masruroh