Kasus stroke meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut tampak dari data Riskesdas tahun 2007 dibandingkan tahun 2013. Prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 per mil pada tahun 2007, menjadi 12,1 per mil pada tahun 2013. Pada tahun 2018, prevalensi stroke berdasarkan diagnosis dokter adalah 10,9 per mil. Artinya, terdapat 11 kasus stroke diantara 1000 penduduk yang berusia 15 tahun keatas.
Sementara di Jawa Timur, prevalensi stroke menempati posisi tertinggi ke 5 di Indonesia. Stroke disebut juga serangan otak. Stroke terjadi ketika ada sesuatu yang menghalangi suplai darah ke bagian otak atau saat pembuluh darah masuk ke otak. Sehingga, bagian otak menjadi rusak atau mati. Stroke dapat menyebabkan kerusakan otak yang lama, kelumpuhan sampai kecacatan permanen, atau bahkan kematian.
Setiap orang dapat terkena stroke pada usia berapapun. Ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko stroke. Menurut CDC (2017), faktor kondisi biologis, faktor perilaku, dan faktor riwayat keluarga merupakan faktor yang mepengaruhi terjadinya penyakit stroke. Salah satu faktor perilaku yang menyebabkan stroke adalah merokok.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Martini (2010), merokok merupakan faktor yang meningkatkan risiko stroke infark, yang merupakan jenis stroke yang paling banyak terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh O’Donnell. dkk. (2016) di 32 negara di dunia menyebutkan bahwa orang yang merokok memiliki risiko stroke sebesar 1,67 dibandingkan orang yang tidak merokok. Sedangkan penelitian yang di lakukan di Cina oleh Hou. dkk (2017), perokok pasif meningkatkan risiko kematian karena stroke sebanyak 10 persen.
Stroke merupakan penyakit yang meruntuhkan kehidupan seseorang maupun suatu keluarga karena pengobatan terhadap stroke dilakukan seumur hidup dan hal tersebut akan menyebabkan “shifting” alokasi belanja di tingkat keluarga. Apalagi yang terkena stroke merupakan pencari nafkah, maka kehidupan dalam keluarga tersebut akan sangat terganggu bahkan bisa menyebabkan status sosial ekonomi keluarga tersebut menurun.
Belum lagi stroke survivor tersebut hidupnya menjadi “dependent living” yang sangat membutuhkan bantuan orang lain. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan depresi bagi keluarga tapi juga akan menyebabkan depresi bagi stroke survivor tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana ketahanan keluarga tersebut akibat adanya stroke survivor yang dependent living. Oleh karena itulah biaya yang diakibatkan oleh stroke sangatlah besar sehingga menyedot dana BPJS.
Rokok merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat terbesar yang pernah dihadapi dunia dan rokok telah menewaskan lebih dari 7 juta orang per tahun. Hampir 80 persen dari 1 miliar perokok di seluruh dunia tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan beban penyakit dan kematian terkait tembakau tinggi pada negara tersebut. Kesakitan dan kematian seseorang dapat mempengaruhi perekonomian keluarga maupun negara karena mempengaruhi pendapatan, kenaikan biaya perawatan kesehatan dan menghambat pembangunan ekonomi.
Indonesia merupakan negara ke empat dengan jumlah perokok terbanyak di dunia setelah Cina, Russia, dan USA. Selain itu Indonesia juga merupakan negara ke tiga dengan jumlah perokok pria terbanyak setelah Cina dan India. Jumlah perokok pada tahun 2007 adalah sebesar 34,2 persen dan meningkat menjadi 36,3% tahun 2013. Jumlah perokok pada laki-laki yaitu 67,0 persen tahun 2011, menjadi 64,9 persen pada tahun 2013.
Rokok merupakan penyebab sekitar 5 persen kasus stroke di Indonesia. Sekitar 90.000 kasus stroke berkaitan dengan rokok. Setiap hari terdapat 255 kasus stroke berakitan dengan rokok atau 11 kasus stroke berkaitan dengan rokok setiap jam. Siapakah yang akan menjadi korban berikutnya? Apakah anda, bapak atau ibu, anak atau saudara anda? Rasanya kita sepakat tidak ada yang mau terkena serangan stroke. Mari berhenti merokok atau hindari paparan asap rokok sekarang juga. (*)
Penulis: Santi Martini
Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat pada tulisan kami di: