Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) merupakan penyakit infeksi jamur spesies Candida pada organ intim wanita dengan gejala keradangan dan keputihan. Jamur ini sebenarnya merupakan jamur yang normalnya memang ada pada individu sehat, tetapi bisa menyebabkan penyakit jika populasinya bertambah banyak melebihi batas normal.Penyakit ini diderita oleh lebih dari 75 persen wanita minimal sekali seumur hidup, dan beberapa diantaranya akan mengalami kekambuhan mulai dari hanya sekali sampai lebih dari empat kali dalam setahun.
Jamur C. albicans dinyatakan pada banyak penelitian sebagai spesies terbanyak penyebab KVV. Tetapi kejadian yang disebabkan oleh spesies lainnya, yaitu golongan non-albicans tampak semakin meningkat. Peningkatan inimerupakan suatu hal yang mengkhawatirkan, karena spesies tersebut menunjukkan penurunan respon terhadap obat anti jamur, sulit diobati, dan kambuh-kambuhan.
Komplikasi yang bisa ditimbulkan antara lain penyakit radang panggul, kemandulan, kehamilan di luar rahim, keguguran, dan lain-lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami mengadakan penelitian untuk mengetahui gambaran pergeseran pola jamur penyebab penyakit tersebut di Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 1997 sampai 2017, sehingga diharapkan bisa meningkatkan keberhasilan pengobatan pasien KVV di masa yang akan datang.
Penelitian ini menggunakan metode studi retrospektif dan deskriptif dengan sumber data sekunder dari hasil penelitian sebelumnya, yaitu data penelitianKVV yang dilakukan pada tahun 1997–2017 (20 tahun).Sebanyak tujuh penelitian mengenai KVV telah didapatkan dalam rentang waktu tersebut. Pencatatan data dalam penelitian ini meliputi data dasar gambaran umum pasien, anamnesis keluhan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Umur penderita KVV terbanyak adalah antara umur 25-44 tahun yang merupakan usia seksual aktif dan status terbanyak adalah sudah menikah.
Keluhan pasien terbanyak adalah keputihan yang disertai rasa gatal. Mayoritas pasien mengeluhkan duh tubuh berwarna putih yang pada pemeriksaan sebagian besar tampak seperti susu pecah di atas organ intim yang meradang, disertai dengan keluhan bau yang bervariasi mulai tidak berbau pada sebagian besar pasien, kemudian bau asam, dan bau busuk. Riwayat konsumsi obat sebelum periksa diantaranya adalah antijamur, antibiotik, dan pemakaian antiseptik maupun jamu/herbal.
Distribusi hasil kultur yang didapatkan cukup bervariasi. Penelitian ini menemukan sembilan jenis spesies penyebab KVV yaitu C. albicans, C. glabrata, C. tropicalis, C. parapsilosis, C. gullermondii, C. kefyr, C. stelatoidea, C. lusitaniae, dan C. famata yang bisa menyebabkan infeksi tunggal maupun campuran (didapati 2 spesies penyebab pada 1 pasien).
Spesies penyebab KVV terbanyak adalah C. albicans diikuti oleh C. glabrata, kemudian C. tropicalis, dan sebagian kecil spesies lainnya. Mayoritas C. albicans didapatkan pada penelitian tahun 1997, 2010, 2015, dan 2017, sebesar 100%, 52,8%, 71,4%, dan 62,1%, sedangkan mayoritas C. non-albicans pada penelitian tahun 2004, 2005, dan 2009, sebesar 65,2%, 52,6%, dan 52,9%. Pada penelitian tahun 2015 didapatkan 2 pasien atau 9,5% tidak teridentifikasi spesies penyebabnya pada pemeriksaan kultur jamur.
Pasien KVV sebagian besar adalah wanita yang sudah menikah, usia seksual aktif (20-40 tahun), yang mengeluhkan adanya keputihan terutama berwarna putih seperti susu pecah, sebagian besar tidak berbau, dan disertai keradangan dan rasa gatal pada kemaluan. Riwayat konsumsi antibiotik dan antijamur pada pasien yang tidak tepat, tidak akan menyembuhkan KVV, tetapi sebaliknya akan memperparah.
Penelitian ini telah menunjukkan pola pergeseran spesies penyebab KVV selama 20 tahun terakhir di URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo, yaitu dari dominasi C. albicans pada 1997 (100%), kemudian C. non-albicans pada tahun 2004 (65,2%), 2005 (52,6%), dan 2009 (52,9%), kembali lagi pada dominasi C. albicans yaitu pada tahun 2010 (52,8%), 2015 (71,4%), dan 2017 (62,1%).
Peningkatan jumlah kasus KVV yang disebabkan oleh C. non-albicans telah membuat diagnosis dan penatalaksanaannya menjadi lebih sulit. Spesies C. non-albicans menunjukkan penurunan kepekaan terhadap pengobatan antijamur yang biasa digunakan. Penegakan diagnosis KVV sebaiknya tidak hanya berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik saja, tetapi harus didukung oleh pemeriksaan laboratorium penunjang yang tepat seperti kultur dan identifikasi spesies penyebab dalam rangka meningkatkan keberhasilan pengobatan, terutama bagi pasien yang sudah diterapi dengan pengobatan standard tetapi tidak mengalami kesembuhan.Edukasi yang benar kepada pasien mengenai pemakaian obat-obatan KVV juga perlu ditekankan untuk mencegah kekebalan jamur terhadap obat dan peningkatan kasus KVV yang disebabkan oleh spesies C. non-albican. (*)
Penulis: Linda Astari
Informasi detail dari artikel ini dapat dilihat pada tulisan kami di:https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/12311/pdf