UNAIR NEWS – Menyambut pemilihan kepala daerah tahun 2020 mendatang, salah satu isu yang perlu untuk diperhatikan oleh para calon pemimpin adalah terkait pencegahan kenaikan jumlah penderita HIV/AIDS. Menurut Kemenkes, sampai dengan Juni 2018, terdapat 301.959 jiwa telah terinveksi virus tersebut. Jawa Timur merupakan provinsi kedua setelah DKI Jakarta dengan penderita terbanyak, yaitu 43.399 jiwa. Kelompok usia produktif (25-49 tahun), merupakan kelompok umur yang paling banyak terjangkit virus tersebut.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR), dr. Prijono Satyabhakti MS., MPH menjelaskan bahwa HIV/AIDS ditularkan melalui darah, cairan sperma, dan cairan vagina. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan tiga hal tersebut memiliki risiko untuk terjangkit HIV/AIDS.
“Terdapat beberapa kelompok berisiko untuk terkena penyakit tersebut antara lain adalah pekerja seks komersial (PSK), pelanggan, pasangan pelanggan, waria, gay dan pengguna narkoba jarum suntik,” terang dosen yang akrab disapa dr. Pri tersebut.
Sehingga, upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit tersebut perlu difokuskan pada kelompok tersebut di atas. Seperti melakukan pendekatan pada perkumpulan waria, perkumpulan gay, dan PSK di tempat lokalisasi untuk kemudian diberi intervensi. Di antaranya adalah pemeriksaan penyakit infeksi menular seksual (IMS) dan cek HIV.
“Waria dan gay ada perkumpulannya, kita bisa dekati. Yang susah adalah pelanggan. Tidak ada perkumpulan pelanggan yang bisa kita dekati untuk diberi intervensi,” terang dr. Pri.
Sehingga, strategi penanggulangan yang saat ini dilakukan adalah dengan kampanya ABC. Yaitu Abstinence, Be Faithful dan Condom. Abstinence ditujukan khususnya pada masyarakat yang belum menikah, sehingga tidak boleh melakukan seks di luar nikah.
Kemudian, be faithful atau setia, ditujukan pada mereka yang telah memiliki pasangan untuk setia. Dan terakhir adalah penggunaan kondom ketika berhubungan seksual. “A dan B (Abstinence dan Be faithful, Red) apabila di agama Islam disebutnya jangan zina,” ucap dr. Pri.
Kampanye Kondom
Sementara kampanye penggunaan kondom bukan berarti melegalkan seks bebas. Namun untuk melindungi diri dari tertularnya penyakit tersebut.
Apabila merujuk pada data Kemenkes, jumlah ibu rumah tangga yang dilaporkan mengindap penyakit AIDS sangat tinggi. Yaitu dengan jumlah total pada 2018 mencapai 15.410 jiwa.
Menurut Kemenkes, pada April-Juni 2018, sebanyak 59 persen laki-laki menderita penyakit HIV. Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kelompok usia produktif (25-49 tahun) merupakan kelompok terbanyak yang menderita HIV/AIDS.
Pada usia tersebut, sebagian besar orang telah memiliki pasangan. Sehingga, ketika seorang suami menjadi pelanggan, maka suami tersebut kemungkinan besar dapat menularkan penyakit tersebut pada istri ketika berhubungan tanpa pengaman. Terlebih, suami tersebut tidak izin kepada istri ketika membeli seks di luar.
Di sisi lain, tidak laki-laki saja yang membeli seks. Tidak menutup kemungkinan perempuan juga membeli seks.
“Ketika kampanye penggunaan kondom, itu bukan berarti melegalkan seks bebas. Bayangkan saja, jika bapak kamu beli seks di luar dan tidak memakai kondom, risiko menular ke ibumu tinggi,” terang dr. Pri.
Pentingnya Pendidikan Seks
Pendidikan kesehatan reproduksi sejak di usia sekolah tidak boleh menjadi hal tabu lagi. Keterbukaan dan penyebaran informasi mengenai bahaya dan penanggulangan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS perlu dilakukan.
Pendekatan kepada pelanggan meski sulit dilakukan, maka dapat dilakukan pendekatan kepada masyarakat secara umum. Di antaranya dapat dilakukan dengan cara ceramah, testimoni penderita HIV, testimoni pasien narkoba yang terkena HIV, seminar anti HIV, dan lain sebagainya.
“Kita bisa melakukan ceramah HIV secara umum seperti seminar ancaman HIV dan Narkoba di kalangan bapak-bapak, dharmawanita, mahasiswa baru dan lain sebagainya,” ujar dr. Pri.
Kepada pemerintah dan pihak terkait lainnya dr. Pri berpesan bahwa dalam menanggulangi dan mencegah penyebaran HIV/AIDS harus dilakukan bersama-sama. Bekerja sama antara sektor kesehatan, ekonomi, agama, pemimpin local, dan lain sebagainya.
Saling mengamati dan menyebarkan informasi seluas-luasnya juga penting dilakukan. Diterangkan kepada masyarakat umum siapa saja yang berisiko terkena dan bahwa kita semua berisiko untuk terkena.
Selain itu, dr. Pri juga mengapresiasi kebijakan pemerintah agar calon pengantin melakukan cek HIV sebelum menikah. Sehingga, dapat dideteksi secara dini siapa saja yang mengindap penyakit tersebut dan mencegah penularan pada pihak lain.
“Kita membuat penderita HIV/AIDS jadi nol itu susah. Namun setidaknya kita harus meminimalisir,” pungkas dr. Pri. (*)
Penulis : Galuh Mega Kurnia
Editor : Binti Q. Masruroh