Dermatitis Akibat Penggunaan Kosmetik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh deherba.com

Kosmetik merupakan bahan yang sangat sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari bahkan penggunaannya semakin meningkat. Kosmetik adalah campuran dari beberapa substansi yang diaplikasikan pada permukaan luar tubuh untuk membersihkan atau mengharumkan. Kontak erat kosmetik dengan kulit dalam waktu yang lama dapat menginisiasi proses sensitisasi dari bahan kimia yang terkandung di dalamnya sehingga menimbulkan dermatitis kontak alergi (DKA).

Dermatis kontak alergi akibat kosmetik terjadi pada 2-4% dari keseluruhan kasus dermatitis kontak yang datang ke poliklinik. Bahan kimia yang terkandung pada kosmetik dapat menginisiasi proses sensitisasi kulit. Reaksi iritasi terhadap kosmetik biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat kulit sensitif atau riwayat atopi. Produk yang paling sering menyebabkan DKA yaitu produk perawatan kulit, pelembab, make up, dan produk perawatan rambut. Namun DKA juga dapat disebabkan karena parfum, deodoran, dan pasta gigi.

Peneitian retrospektif yang dilakukan di Instalasi Rawat Jalan (IRJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya mulai tahun 2014-2017 mendapatkan hasil bahwa terdapat 289 (26,1%) pasien dermatitis kontak akibat kosmetik. Insiden DKA meningkat signifikan setiap tahunnya. Dermatitis kontak alergi lebih sering terjadi pada perempuan (93,4%), usia 20-30 tahun (37,7%). Penyebab paling sering pasien dermatitis kontak akibat kosmetik pada penelitian ini yaitu krim pagi/ sunblock sebanyak 101 pasien dan krim malam sebanyak 95 pasien disusul dengan bedak dan sabun wajah. Manifestasi klinis yang paling sering yaitu makula eritematosa, papula, dan skuama. Sedangkan gejala yang paling sering dialami pasien yaitu gatal dan rasa panas terbakar pada kulit. Pasien dermatitis kontak akibat kosmetik yang memiliki riwayat atopi yaitu 19,7% dan pada 6,5% pasien mempunyai riwayat atopi pada keluarga.

Pada penelitian lain disebutkan penyebab paling sering dermatitis kontak akibat kosmetik yaitu wewangian, bahan pengawet, dan produk cat rambut. Bahan pengawet yang dicampurkan dalam produk kosmetik dapat menimbulkan manifestasi klinis pada dermatitis kontak akibat kosmetik. Bahan pengawet yang paling sering digunakan yaitu parabens yang memiliki zat penyusun stabil serta resiko alergi yang sangat rendah pada kulit normal, formaldehyde releasers, dan isothiazolinones. Formaldehid merupakan salah satu bahan alergen yang digunakan pada beberapa produk kosketik. Prevalensi alergi terhadap formaldehid di Amerika sebesar 8-9% dan 34% diantaranya juga mempunyai alergi terhadap formaldehyde releasing agents.

Selain karena bahan kimia, beberapa dermatitis kontak akibat kosmetik juga disebabkan karena bahan alami, seperti almond, gandum, kedelai, dan kacang-kacangan. Bahan alami dari ekstrak tumbuh-tumbuhan yang paling sering menyebabkan alergi adalah tea tree oil dan bahan turunan dari family Composutae serta Asteraceas yang merupakan suku kenikir-kenikiran. Oleh karena tidak semua bahan alami tertera pada komposisi produk kosmetik maka edukasi kepada pasien untuk menghindari semua bahan kosmetik termasuk bahan alami harus dilakukan.

Dermatitis kontak alergi akibat pewarna bibir terjadi pada 9 pasien pada tahun 2014-2017 di IRJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Salah satu bahan pada pewarna bibir yang banyak dilaporkan menimbulkan DKA yaitu galates. Galates adalah komponen utama dari suatu antioksidan yang melindungi molekul lain untuk melawan efek radikal bebas, mencegah oksidasi, dan mencegah suatu produk kosmetik dari kerusakan bentuk maupun bau yang kurang sedap. Ruam/efloresensi yang muncul pada pasien dermatitis kontak akibat kosmetik yaitu makula eritematosa, papula, skuama, eritema, plak, makula, vesikel, dan pustula. Dapat juga ditemukan lesi sekunder misalnya hiperpigmentasi, hipopigmentasi, krusta, dan ekskoriasi. Sedangkan untuk gejala klinis yang muncul sangat dipengaruhi oleh jenis produk, daerah pengaplikasian, dan durasi kontak.

Pada pasien yang memiiki riwayat atopi cenderung untuk terjadi sensitisasi IgE terhadap beberapa protein seperti serbuk sari, makanan, dan produk hewani. Kecenderungan ini disebabkan karena pasien dengan riwayat atopi maupun dermatitis atopik memiliki disfungsi dari sawar kulit dan peningkatan resiko sensitisasi protein alergen melalui kontak dengan kulit. Pada pasien dermatitis kontak akibat kosmetik yang dilakukan pemeriksaan uji tempel hasilnya yaitu 37,7% pasien mempunyai hasil yang positif. Akan tetapi karena tidak semua antigen pada produk kosmetik memiliki reagen standar untuk uji tempel sehingga terkadang hasil uji tempel tidak sesuai dengan keadaan klinis. Fragrance mix I menjadi bahan yang paling sering menyebabkan alergi pada 70-80% kasus. Berapa dari bahan ini mengandung 5% sorbitan sesquioleat untuk meningkatkan disperse wawangian.

Penanganan utama dermatitis kontak akibat kosmetik yaitu penghentian penggunaan bahan penyebab dan diikuti dengan terapi suportif yang disesuai dengan gejala klinis. Terapi suportif ini misalnya pemberian antihistamin oral, steroid topikal, maupun steroid oral serta jika terdapat infeksi sekunder maka harus diberikan antibiotik oral. Penggunaan produk kosmetik harus berhati-hati karena dapat menimbulkan dermatitis kontak alergi dengan manifestasi klinis yang bermacam-macam. Hampir semua produk kosmetik dapat menimbulkan DKA baik karena bahan pengawet maupun bahan alami. Ketika dicurigai adanya dermatitis kontak akibat kosmetik maka penghentian penggunaan produk harus dilakukan dengan segera ditambah dengan terapi suportif lain.

Penulis: Prof. Dr. dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, SpKK(K), FINS-DV, FAADV

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/11044

Judul jurnal: Profil Pasien Dermatitis Kontak Alergi Akibat Kosmetik

Marissa Astari Rubianti, Cita Rosita Sigit Prakoeswa

Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga / Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesia

http://dx.doi.org/10.20473/bikkk.V31.1.2019.35-40

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).