Erupsi obat merupakan gambaran klinis alergi obat yang terjadi pada kulit. Alergi obat merupakan reaksi yang tidak dapat diduga dari sistem kekebalan tubuh seseorang terhadap obat tertentu, yang biasanya muncul secara bertahap. Gejala alergi obat, termasuk erupsi obat, dapat berupa reaksi ringan hingga berat, mulai bercak atau bentol merah hingga lepuh atau luka pada kulit.
Selain itu, pada reaksi yang berat dapat disertai pembengkakan mata, sariawan, ataupun keluhan pada saluran pencernaan (sulit menelan, diare) dan saluran pernafasan (sesak, batuk). Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi gambaran klinis dan epidemiologi erupsi obat berat.
Penelitian ini mengevaluasi seluruh pasien erupsi obat berat di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama 18 bulan. Kasus erupsi obat berat berupa Stevens-Johnson syndrome (SJS), toxic epidermal necrolysis (TEN), acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), drug reaction with eosinophilia and systemic syndrome (DRESS) dan dermatitis eksfoliatif dievaluasi pada penelitian ini.
SJS dan TEN memberikan gambaran klinis berupa bercak merah disertai lepuh dan luka pada kulit dan selaput lendir, terutama pada selaput lendir rongga mulut (berupa sariawan), bibir, tenggorokan, disertai radang pada mata. AGEP memberikan gambaran klinis berupa bercak merah disertai dengan lenting berisi nanah, dan seringkali disertai dengan demam. DRESS memberikan gambaran klinis berupa bercak merah pada kulit disertai dengan demam dan gangguan fungsi organ dalam.
Dermatitis eksfoliatif merupakan erupsi obat berat dengan gambaran kulit memerah pada hampir seluruh tubuh atau lebih dari 90 persen. Gambaran klinis dari erupsi obat yang terjadi dan obat yang diduga sebagai penyebab erupsi obat diidentifikasi pada penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua puluh empat pasien yang terdiri dari sebelas kasus SJS, satu kasus TEN, dua kasus SJS/TEN-overlap, sepuluh kasus dermatitis eksfoliatif yang didapatkan pada penelitian ini. Rata-rata periode atau waktu antara penggunaan obat hingga munculnya gejala klinis erupsi obat berat adalah 15,8 hari.
Kelompok obat yang diduga sebagai penyebab erupsi obat berat pada penelitian ini adalah kelompok antibiotik, kelompok antiradang nonsteroid, kelompok antikejang, kelompok antirematik, kelompok obat sakit maag, kelompok antidiabet, dan kelompok obat tradisional / herbal. Kelompok antibiotik merupakan kelompok obat yang diduga sebagai penyebab erupsi obat berat terbanyak (62,5 persen), diikuti oleh obat antiradang nonsteroid. Sedangkan obat yang diduga sebagai penyebab erupsi obat berat terbanyak adalah obat antiradang asam mefenamat (20,9 persen).
Langkah terpenting pada kecurigaan alergi obat adalah menghentikan semua penggunaan obat ataupun obat tradisional/herbal yang dicurigai sebagai penyebab, serta memberikan obat antiradang dan terapi pendukung untuk memperbaiki kondisi umum. Pada penelitian ini, penghentian obat yang diduga sebagai penyebab erupsi obat berat, antiradang berupa kortikosteroid sistemik, dan terapi pendukung diberikan pada semua pasien memberikan hasil baik dengan angka kematian nol.
Selain pemberian terapi pada kasus erupsi obat berat, penanganan yang terpenting pada erupsi obat berat adalah pencegahan terjadinya reaksi yang berulang. Agar tidak terjadi erupsi obat berat yang berulang, edukasi kepada pasien sengat diperlukan. Yaitu, untuk menghindari penggunaan obat-obatan yang diduga sebagai penyebab erupsi obat berat tersebut, serta pasien diminta selalu memberitahukan daftar riwayat obat yang menimbulkan erupsi obat berat tersebut, saat berobat ke dokter.
Antibiotik merupakan kelompok obat penyebab tersering pada erupsi obat berat pada penelitian ini. Penghentian obat yang diduga sebagai penyebab, terapi antiradang dan terapi pendukung diberikan pada semua pasien, memberikan hasil baik tanpa adanya angka kematian pada penelitian ini. Erupsi obat berat dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi, tetapi dengan penegakan diagnosis dini, penghentian obat penyebab, serta pengawasan ketat terhadap timbulnya komplikasi dapat meningkatkan prognosis. (*)
Penulis: dr. Damayanti, SpKK, FINS-DV
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:
https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/9783
Clinicoepidemiological Profile of Severe Cutaneous Adverse Drug Reaction: A Retrospective Study
Damayanti, Umborowati MA, Anggraeni S, Prakoeswa CRS, Hutomo M, Sukanto H
Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga / Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesia