Antisipasi Penyalahgunaan Antibiotika pada Makanan Beku

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi antibiotika. (Sumber: Intisari)

Penyalagunaan (abuse) dan salah penggunaan (misuse) antibiotika serta penggunaannya yang tidak rasional adalah salah satu pemicu terjadinya resistensi. Dunia medis dihadapkan masalah besar terkait ulah mikro-organisme dengan atribut  MDR, MRSA, ESBL. WHO telah membuat daftar 12 bakteri yang membahayakan karena status resistensinya terhadap beberapa golongan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang tidak terkendali khususnya pada budidaya produk perairan (tambak atau laut) perlu mendapatkan perhatian.

Indonesia  merupakan salah satu pemasok komoditas ekspor yang memiliki dampak cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia, antara lain udang dan ikan. Untuk memenuhi permintaan eskpor udang yang cukup besar, terkadang pembudidaya udang menggunakan antibiotika dengan alasan yang tidak rasional, untuk mencegah udang terjangkit atau tahan terhadap penyakit. Menteri Kelautan dan Perikanan dalam peraturan PER nomor 02 / MEN / 2007 sudah menyampaikan kebijakan, produk perikanan harus bebas dari residu obat, bahan kimia, bahan biologis dan kontaminan lainnya.

Salah satu antibiotika yang biasa digunakan petani untuk mencegah infeksi bakteri pada udang adalah streptomisin, turunan aminoglikosida yang bersifat bakterisid dan bekerja melalui  mekanisme hambatan sintesis protein normal pada mikroba patogen karena kemampuannya membentuk kompleks dengan ribosom S-30. Menurut Standardisasi Nasional Indonesia, batas maksimum streptomisin dalam daging adalah 0,1 mg/kg.

Penggunaan antibiotika untuk tujuan mengobati penyakit udang dapat berdampak buruk pada ekspor dengan negara tujuan Uni Emirat dan Amerika Serikat. Pemasok dapat menderita black list apabila terdeteksi residu antibiotika melampaui batas yang diijinkan. Bahkan negara Eropa menetapkan batas maksimum residu dalam bilangan ppb (part per billiun).

Penjaminan mutu udang beku ekspor yang terbebas dari residu antibiotika menjadi sangat penting, karena dapat berisiko bagi kesehatan manusia. Residu antibiotika dalam makanan dapat berkontribusi pada kejadian resistensi antibiotika melalui rantai makanan. Oleh karena itu, pengembangan metode analisis untuk deteksi dan penetapan kadar streptomisin sulfat dalam udang perlu dilakukan.Salah satu metode yang dapat digunakan untuk analisis residu antibiotika dalam udang adalah kromatografi lapis tipis (KLT)-bioautografi.

Metode KLT-bioautigrafi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya dan menentukan kadar antibiotika dalam sampel udang berdasarkan aktivitas mikrobiologis. Perbandingan metode bioautografi kontak dan imersi dalam penentuan kadar streptomisin sulfat dalam matriks udang belum pernah dilaporkan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menemukan metode yang paling efektif dan memberikan hasil yang memenuhi parameter validasi, antara lain selektifitas, linieritas, akurasi dan presisi.

Penelitian kandungan antibiotika streptomisin sulfat dalam udang diawali dengan pemilihan sampel udang yang diperoleh dari supermarket dan pasar tradisional. Sampel udang kemudian dikeringkan dengan cara dipanaskan pada suhu 105oC untuk menghilangkan kandungan air. Sampel udang kering selanjutnya dipreparasi dan ditotolkan pada pelat KLT bersama dengan larutan standar streptomisin. Eschericia Coli dipilih sebagai bakteri uji berdasarkan pada kepekaannya terhadap streptomisin. Pelat KLT kemudian dieluasi dengan larutan KH2PO4 7,5%. Langkah selanjutnya adalah analisis bioautografi yang dilakukan dengan menggunakan dua macam metode, yakni kontak dan imersi.

Pada metode KLT-bioautografi kontak, pelat KLT dikontakkan pada media Nutrient Broth Agar, sedangkan pada metode KLT-bioautografi imersi, pelat KLT diguyur dengan media yang telah diinokulasi dengan Escherichia coli ATCC 8739. Proses difusi dilakukan selama satu jam di dalam lemari es dan dilanjutkan dengan memasukkan petri ke dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37ºC.

Hasil uji selektifitas menunjukkan bahwa streptomisin dapat terpisah sempurna dari senyawa lain yang terdapat dalam matriks sampel udang. Hal ini bisa dilihat dari nilai keterpisahan (Rs) sebesar 4.1. Uji linieritas yang menunjukkan adanya hubungan linear antara konsentrasi standar streptomisin dengan zona hambat yang dihasilkan   menunjukkan bahwa kedua macam teknik (kontak dan imersi) memberikan nilai r yang lebih besar dari 0,999 dengan nilai Vxo £ 0,4 %. Uji akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali dan uji presisi dinyatakan sebagai koefisien variasi (KV).

Untuk metode kontak diperoleh sebesar 86,93 ± 1,60 % dengan nilai KV sebesar 2,39%, sedangkan untuk metode imersi, persen perolehan kembali diperoleh sebesar 96,42 ± 0,65 % dengan nilai KV sebesar 0,53%. Untuk melihat adanya perbedaan bermakna antara metode kontak dan imersi, dilakukan analisis data dengan menggunakan uji independent t-test program SPSS. Hasil SPSS menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara metode KLT-bioatugrafi kontak dan imersi.

Berdasarkan perbandingan hasil KLT-bioautografi kontak dan imersi, dapat disimpulkan bahwa metode imersi lebih efisien daripada metode kontak untuk penetapan kadar streptomisin dalam sampel udang, karena sensitivitas yang lebih tinggi dan persen rekoveri yang lebih sesuai persyaratan. Metode ini dapat direkomendasikan untuk uji mutu produk olahan makanan beku yang akan diekspor, khususnya untuk mendeteksi residu antibiotikanya. (*)

Penulis : Febri Annuryanti

Informasi detail riset ini dapat diakses pada artikel kami di:http://www.turkjps.org/archives/archive-detail/article-preview/method-validation-of-contact-and-mmersiontlc-bioau/26331

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).