Pasien dengan kejang SE (status epileptikus) mengalami kenaikan kadar protein S100B setelah mengalami kejang. Tepatnya pada pasien SE yang diambil pada 24 jam setelah kejang. Terdapat korelasi positif yang kuat antara kadar S100B serum pada 24 jam pertama setelah kejang dan kerusakan otak yang tampak pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Yakni, pemeriksaan dengan teknik pengambilan gambar detail organ dari berbagai sudut yang menggunakan medan magnet dan gelombang radio kepala dengan DTI.
Hasil tersebut memperkuat bukti-bukti penelitian sebelumnya tentang peningkatan kadar S100B serum pada kerusakan sel saraf yang diakibatkan keadaan hipoksia saat terjadi SE. Peningkatan kadar S100B serum dapat menjadi suatu acuan dalam memprediksi seberapa banyak kerusakan sel saraf yang terjadi. Nantinya hal itu akan dapat menjadi pertimbangan dalam merencanakan pemeriksaan pencitraan serta rencana terapi yang akan diberikan.
Status epileptikus (SE) adalah kondisi aktivitas kejang berkelanjutan atau kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang yang berlangsung selama 30 menit. Kejang SE adalah salah satu kegawatan neurologi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan pada anak.
Pemeriksaan pencitraan bertujuan untuk mengevaluasi adanya kerusakan struktural yang terjadi. Itu nanti dapat menjadi petunjuk penyebab kejang maupun prognosis klinis pasien. Penggunaan biomarker dalam berbagai kelainan neurologis, terutama bertumpu pada tingginya sensitivitas marker yang dapat menjadi acuan klinis dalam mengambil tindakan diagnostik maupun terapeutik terhadap pasien.
Salah satu marker yang banyak diteliti, yaitu protein S100B. Tindakan diagnostik dan terapeutik yang tepat diharapkan akan mampu meningkatkan keselamatan pasien serta menghindarkan pasien dari pemeriksaan yang tidak perlu dan beresiko.
Banyak penelitian yang menemukan adanya korelasi positif antara kadar S100B dalam serum dengan outcome pasien. Kadar S100B dalam serum merefleksikan derajat kerusakan otak yang terjadi. Kadar S100B yang tinggi di cairan serebrospinal, urin, dan serum cukup sensitif untuk mendeteksi kerusakan otak pada keadaan trauma kepala; hal ini sangat bermanfaat dalam mendeteksi mortalitas pasien.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat bermanfaat untuk mengetahui adanya kerusakan struktural pada otak yang terjadi beberapa saat setelah kejadian hipoksia-iskemia. Kegunaan prognostik MRI semakin berkembang dengan adanya teknik Diffusion-Tensor Imaging (DTI) yang telah meningkatkan peran MRI dalam pemeriksaan pasien dengan hipoksia-iskemia otak global.
Pemeriksaan MRI dengan sequence DTI dapat mendeteksi mikrostruktur sistem saraf pusat dan mendeteksi kelainan yang tidak terdeteksi dengan MRI konvensional. Pemeriksaan MRI pada pasien SE dapat memberikan informasi tentang penyebab SE dan patofisiologi kerusakan saraf yang terjadi.
Telah dilakukan penelitian obervasional analitik untuk melihat korelasi antara kadar S100B dengan kerusakan jaringan otak berdasar abnormalitas gambaran MRI kepala pada pasien SE. S100B diperiksa dengan menggunakan cairan serum darah sebanyak 1 cc dengan Human S100B ELISA Kit (Elabscience Biotechnology), menggunakan alat spectrofotometer dengan panjang gelombang 450 nm.
Abnormalitas MRI kepala dibagi menjadi 3 jenis. Yakni, derajat I apabila kelainan terbatas pada white matter tract; derajat II apabila terdapat lesi pada cortical dan subcortical; derajat III apabila terdapat lesi pada sebagian besar white matter.
Dari hasil analisis bivariat pengukuran kadar S100B serum di kelompok perlakuan dan kontrol, diperoleh angka signifikansi 0.001 (p<0.05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara nilai S100B pasien kejang status epileptikus dan kejang non status epileptikus. Hasil analisis uji komparasi antara kadar S100B serum dan derajat encephalopathy berdasarkan MRI kepala (tabel 5.4) menunjukkan adanya perbedaan kadar S100B serum antara setiap tingkatan encephalopathy berdasarkan hasil MRI kepala.
Berdasar penelitian yang dilakukan di Swedia, pada pasien dengan cedera otak ringan akibat trauma pemeriksaan kadar S100B plasma mampu memberikan hasil yang sensitif sebagai prediktor negatif hal ini sangat membantu dalam penghematan biaya diagnostik dan perawatan pasien. Linsenmeier kemudian mencoba meneliti hubungan antara adanya lesi intrakranial nontrauma pada pasien dengan peningkatan kadar S100B dalam plasma, dan hubungan antara kadar S100B dengan perdarahan intrakranial akibat trauma kepala minimal yang terlihat pada CT scan kepala dan MRI.
Hasil yang didapatkan adalah pemeriksaan kadar S100B dalam plasma memiliki sensitivitas 100 persen dalam menyingkirkan perdarahan intrakranial setelah cedera kepala minimal sehingga pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai pengganti CT scan kepala dalam mendeteksi ada tidaknya perdarahan intra kranial akibat cedera kepala.
Sebaliknya pemeriksaan kadar S100B dalam plasma memiliki spesifitas yang rendah (± 25 persen) terhadap adanya kelainan struktural intrakranial akibat trauma dikarenakan kadar S100B dalam plasma dapat meningkat apabila didapatkan lesi intrakranial nontrauma seperti atrofi otak, mikroangiopati, defek parenkimal otak yang kronis.
Hal ini mengakibatkan penggunaan MRI sebagai alat diagnostik pencitraan otak yang lebih superior dibandingkan dengan CT Scan kepala tetap diperlukan dalam upaya menilai kerusakan otak secara fungsional maupun struktural. Pemeriksaan S100B dianggap cukup bermanfaat dalam menghemat biaya perawatan terutama untuk pemeriksaan pencitraan diagnostik yang mahal. (*)
Penulis: dr Prastiya Indra Gunawan SpA(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unair – RSUD Dr Soetomo Surabaya