Maskulinitas dan Dampaknya terhadap Kesetaraan Gender

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh inwepo.co

UNAIR NEWS – Kementerian Pemberdayaan Perempuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (UNAIR) mengadakan diskusi online via WhatsApp pada Senin (15/7/2019). Tema yang dibahas dalam diskusi tersebut ialah maskulinitas. Dalam era postmodern ini, maskulinitas masih menjadi persoalan dalam beberapa kebudayaan yang masih kuat dengan sistem patriarkal (sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan).

Adapun narasumber dalam diskusi itu ialah Dra. Nur Wulan, M.A., Ph.D (Pakar Gender FIB UNAIR). Nur menjelasakan bahwa maskulinitas merupakan norma atau nilai yang berhubungan dengan laki-laki. Maskulinitas ini dalam studi gender dianggap sebagai hasil konstruksi sosial masyarakat.

Dalam masyarakat dengan sistem patriarkal yang kuat, maskulinitas menyebabkan adanya anggapan rendah terhadap perempuan karena masyarakat cenderung menguntungkan laki-laki dan membatasi perempuan. Misalnya. laki-laki harus dilayani oleh perempuan, laki-laki lebih tegas dari pada perempuan, dan laki-laki lebih rasional dari pada perempuan. Akibatnya, perempuan kemudian dianggap menempati posisi yang tidak penting atau berada pada kelas dua.

“Yang mesti kita ketahui adalah maskulinitas ialah hasil dari konstruksi sosial dan bukan warisan biologis. Karena sebagai hasil konstruksi sosial masyarakat, maka nilai-nilai maskulinitas dapat kita lenyapkan agar perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya secara lebih dan menenempati posisi yang sama dengan laki-laki dalam masyarakat,” tuturnya.

Lanjut Nur, ia menjelaskan bahwa belajar gender masih sangat relevan di era sekarang. Hal itu dikarenakan diskriminasi terhadap kaum perempuan masih sering terjadi. Melalui pembelajaran tersebut, diharapkan mahasiswa dapat melihat ulang dan mengkaji norma-norma maskulinitas dan feminis yang ada di masyarakat. Sehingga dapat mengupayakan terciptanya kehidupan yang setara antara laki-laki dan perempuan.

“Jika dunia ini sudah adil, di mana para laki-laki menghargai perempuan dan begitupun sebaliknya (pandangan utopis, Red) barangkali barulah kita tidak perlu lagi belajar tentang gender,” tambahnya. (*)

Penulis : Ransis Putra Gaut

Editor    : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).