Baru-baru ini sekali, sosial media saya diramaikan oleh sistem zonasi. Grup guru di salah satu social media juga beradu pendapat soal implementasi zonasi di Indonesia dan Jepang sebagai negara percontohan. Sebelum membahas hal ini lebih lanjut, saya teringat tentang perjalanan saya ke salah satu sekolah di Gili Genting dalam sebuah program (read: Trip Teaching). Untuk menuju Gili Genting, saya butuh waktu satu jam tanpa ombak menghadang perjalanan. Bayangkan, jika laut tidak sedang bersahabat, tentu saja bisa memakan waktu lebih. Begitu pertanyaan saya muncul untuk siswa-siswi yang tampak malu-malu, tiga cita-cita terfaforit sepanjang tahun terlontar dari lisannya; Guru, Dokter, Pilot. Cita-cita ini salah? Oh, tidak, tentu tidak salah. Saya dulu pun juga menaruh perhatian besar untuk menjadi salah satu di antaranya sebelum akhirnya memutuskan sekolah di luar zona.
Kembali lagi soal polemik zonasi, perlu ditelusuri lebih lanjut hal-hal tertulis di Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Dan Sekolah Menengah Kejuruan. Saya menemukan beberapa hal yang perlu kita pahami terlebih dahulu. Kemendikbud menetapkan ada 3 jalur pendaftaran penerimaan peserta didik baru yaitu jalur zonasi, prestasi, dan perpindahan orang tua/wali. Daya tampung untuk masing-masing jalur adalah 90%, 5%, dan 5%. Itu artinya penerimaan peserta didik baru dengan jalur zonasi lebih banyak dipertimbangkan daripada jalur lainnya. Pemerintah daerah bertugas untuk mengatur jalur zonasi di daerah dan melaporkannya ke lembaga penjaminan mutu pendidikan setempat. Indikator penerimaan peserta didik baru untuk setiap jenjang pendidikan berbeda-beda. Misalnya, Sekolah Dasar memprioritaskan soal usia dan jarak tempat tinggal dengan sekolah. Sekolah Menengah Pertama lebih mempertimbangkan jarak tempat tinggal dan sekolah. Jika ada siswa memiliki jarak rumah sama, pihak sekolah akan memprioritaskan siswa yang mendaftar lebih awal. Alternatif lainnya jika memang ada lagi kesamaan, pihak sekolah akan menggunakan nilai ujian sekolah berstandar nasional. Lain lagi jika berbicara soal penerimaan peserta didik untuk SMA dan SMK, jarak rumah ke sekolah tentu akan jadi prioritas. Sedangkan jika ada kesamaan jarak, siswa dengan pendaftaran yang lebih awal akan diprioritaskan. Jika masih saja ada persamaan, yang dipakai adalah nilai Ujian Nasional ditambah penghargaan dan tes minat dan bakat.
Hal itu adakah sekelumit ketentuan yang dipaparkan melalui Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018. Tentu tidak pantas jika saya pribadi menentang ide zonasi sepenuhnya. Ada beberapa hal yang menjadi kelebihan serta kekurangan dari kebijakan ini. Pertama, saya begitu setuju soal menghilangkan citra sekolah favorit yang dieluh-eluhkan. Jika seorang siswa gagal masuk sekolah favorit sedangkan teman sejawatnya berhasil menempuh sekolah favorit, ia cenderung akan merasa lebih kecil dari teman-teman di sekolah favorit. Ketidakmampuan menerima dan menunjukkan label “favorit” dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan mental seseorang. Kemendikbud menyadari adanya hal ini sebagai salah alasan mengapa zonasi diberlakukan. Mencegah diskriminasi, katanya. Alasan dasar lainnya adalah agar anak dengan status ekonomi tidak mampu bisa menjangkau sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya. Poin ini berdasarkan pada tingkat kemampuan ekonomi untuk biaya pendidikan, misalnya transportasi.
Mendikbud juga berprasangka baik jika jalur zonasi ini juga akan memudahkan untuk mengintegrasikan peran orang tua, masyarakat, dan anak didik atau dengan kata lain sebagai kontrol pendidikan karakter anak. Apakah benar demikian? Untuk poin ini, saya lebih ingin menekankan bahwa kontrol pendidikan karakter anak dalam sebuah kultur belajar “culture of learning” tidak kondusif jika beberapa hal berikut ini terjadi. Pertama, kondisi sekolah masih tidak cukup bagus (berlebihnya jumlah siswa dalam kelas, siswa merasa takut dan terancam di sekolah), situasi rumah yang tidak mendukung (tempat tinggal yang tidak layak, tidak terpenuhinya nutrisi dan kesehatan siswa, hilangnya peran orang tua). Fasilitas sekolah yang tidak mendukung (dari segi fasilitas, alat peraga, infrastruktur), administrasi sekolah yang buruk (administrasi dan managemen sekolah belum rapi, ketidakpercayaan pada pimpinan, hubungan yang lemah antar tokoh-tokoh di sekolah). Selanjutnya, guru yang tidak berkomitmen dan berdedikasi (tingkat kehadiran yang rendah, ketidaksiapan dalam proses pembelajaran, ketidakpedulian terhadap perilaku siswa), orang tua yang tidak mendukung (kurangnya keterlibatan orang tua, kurang mendorong anak), siswa yang kurang motivasi dan disiplin.
Jalur zonasi ini telah berjalan 3 tahun lamanya. Dengan seiringnya jalur zonasi diberlakukan, peningkatan kualitas guru masih terus dilakukan. Zonasi bisa saja menuntut pemenuhan fasilitas baik secara kompetensi dan fisik di sekolah. Tolak ukur kualitas SDM dari proses mendidik dapat ditandai dengan Indeks Pembangunan Manusia yang dipengaruhi beberapa faktor seperti faktor ekonomi, faktor kesehatan dan faktor pendidikan. Sehingga, jika memang benar pemerintah memilih menerapkan sistem zonasi lebih lama, trigger dari siswa diperlukan untuk trend ini. Siswa dengan kemampuan mencukupi perlu memberikan stimulus untuk guru dan lingkungannya agar ekosistem sekolah bergerak dengan sebaik mungkin. Sehingga, ikhtiar penghapusan favoritisme sekolah membuahkan hasil. Semua sekolah berhasil, semua siswa berharga.
Lalu bagaimana dengan siswa-siswi di Gili Genting jika sistem zonasi diberlakukan? Mereka akan kembali ke sekolah terdekat di pulau tersebut, bertemu dengan kondisi yang sama; akses dan kualitas seadanya. Cita-cita sebagai guru, dokter, dan pilot hanya berbentuk kata saat realita memaksa mereka sadar. Cita-cita harus dibarengi dengan kompetensi dan persistensi. Maka, tak ada yang bisa mereka lakukan, kecuali belajar menjadi pemicu dari sangkarnya sendiri.
Bagian kabar baiknya, siswa yang mendapat nilai UN tinggi dan berbagai macam penghargaan masih diberikan kursi hangat sebesar 5% untuk keluar dari zonanya. Perdebatan soal zonasi akan menjadi sebuah amanah bagi mereka. Dengan kata lain, mereka keluar zona memang untuk eksplorasi kemampuan dan berkarya lebih baik. Apalagi, sistem zonasi lebih memperjelas amanah dari setiap penggerak pendidikan di sekolah dan masyarakat. Kesimpulannya, pekerjaan rumah dalam bidang pendidikan masih sangat banyak dan butuh kerjasama dari berbagai pihak.