Pernahkah kita menghitung seberapa banyak interaksi kita dengan aplikasi penyedia jasa seperti ojek hingga belanja online? Frekuensi penggunaan yang akan kita dapatkan dari interaksi dengan platform tersebut mungkin akan melebihi jumlah total jemari kita. Platform–platform ini tidak hanya membantu kita sebagai konsumen, namun juga membantu pekerja lepas atau freelancer yang menjadi mitra produsen penyedia jasa. Siklus ekonomi inilah yang kerap kali disebut sebagai gig economy.
Studi Brinkley terkait gig economy, mendefinisikan gig economy sebagai sektor ekonomi yang terdiri dari pekerja professional yang bekerja secara independen (freelancer/gig employment), dimana mereka menerima pekerjaan dari proyek-proyek tunggal berjangka pendek, dari institusi maupun perorangan.
Di Indonesia, gig economy berkembang dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Mengacu pada data Bloomberg, sepertiga dari 127 juta masyarakat Indonesia yang bekerja masuk pada kategori freelance dengan jam kerja di bawah 35 jam per minggunya. Angka fantastis ini tidak lepas dari digitalisasi dan automisasi yang terjadi di era industry 4.0 di mana pekerjaan dapat dilakukan di mana dan kapan saja.
Lebih lanjut, pekerja memiliki kuasa atas waktu dan tempat kerjanya sehingga bisa lebih fleksibel. Pendapatan yang akan mereka peroleh pun berbanding lurus dengan berapa banyak pekerjaan yang dapat mereka selesaikan dalam jangka waktu yang sama dengan pekerja lainnya. Sementara, dari sisi gig company, perusahaan dapat memilih berapa banyak pekerja yang mereka butuhkan untuk pengerjaan suatu proyek tertentu. Perusahaan juga dapat menyeleksi skill mana yang lebih dibutuhkan dan dapat memberikan keuntungan bagi proyek yang akan mereka jalankan. Dengan penempatan pekerja yang tepat, maka target perusahaan akan tercapai dengan tepat pula, baik dalam segi waktu maupun tujuan. Implementasi gig economy dalam perusahaan akan menekan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk perekrutan pekerja hingga biaya benefit yang diterima pekerja seperti bonus, tunjangan akhir tahun, hingga pension.
Namun, selayaknya koin yang memiliki dua sisi, tidak segalanya tentang gig economy menawaran keuntungan. Ada beberapa resiko dalam implementasi gig economy, utamanya yang dirasakan oleh gig employment. Sebelum menjadi gig employment, calon pekerja harus melalui proses seleksi yang ketat melawan ribuan pelamar lain dan tidak transparan. Pekerjaan pun tidak selalu tersedia atau sejalan dengan kompetisi yang dimiliki oleh para calon pekerja.
Dalam urusan hukum, hingga kini, para freelancer ini masih belum memiliki payung regulasi yang melindungi mereka. Status mereka secara hukum masih terombang-ambing, tidak dapat diklasifikasikan sebagai karyawan ataupun pengusaha ‘kecil’. Karenanya, gig company cenderung terkesan semena-mena dan sepihak atas keputusan kebijakan proyek mereka. Tidak sedikit dari kebijakan mereka yang berujung berdampak merugikan bagi gig employment.
Misalnya, yang baru saja terjadi dan telah dilakukan penelitian oleh Research Institute of Social-Economic Development (RISED), kenaikan tarif salah satu platform ojek online yang menyentuh angka 20%. Kenaikan ini, menurut RISED, tidak menjamin kesejahteraan mitra –dalam hal ini, gig employment-. Tarif yang semakin mahal akan berbanding terbalik dengan minat konsumen dalam menggunakan jasa dan hal ini tentu merugikan bagi mitra driver yang bertatap muka secara langsung dengan konsumen. Bahkan, konsumen menyatakan merasa lebih baik menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan harus merogoh kocek lebih dalam untuk menggunakan jasa ojek online.
Dengan concern yang terjadi dan melihat prospek masa depan akan gig economy di Indonesia, maka mau tidak mau, pemerintah harus segera membuat kebijakan yang menengahi kedua belah pihak. Beberapa rekomendasi berdasarkan tingkat urgensinya adalah peraturan perundang-undangan yang jelas dalam melindungi gig employment dari permasalahan keselamatan kerja, peraturan mengenai pemecatan, suspensi, dan pengambilan keputusan kebijakan, peraturan perlindungan hak upah yang akan diterima oleh calon pekerja dari setiap proyek yang diambil dan terakhir yakni pelatihan yang memadai untuk gig employment terutama mengenai kontrak kerja yang akan diambilnya dengan perusahaan.
Saat ini, hanya perbaikan atas masalah yang telah terjadi serta solusi melalui kebijakan pemerintahlah yang dapat memutuskan, apakah gig economy membawa berkah bagi lapisan masyarakat Indonesia, atau malah membawa malapetaka?