Setiap 1 Juni bangsa Indonesia memperingati hari lahir Pancasila. Namun, apakah cukup bila hanya diperingati sebagai rutinitas tanpa ada intensi untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan nyata? Ini penting dan urgen mengingat Pancasila adalah jantung kehidupan bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi kolektif bangsa yang memberi pedoman terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara pada koridor yang benar.
Melawan Homogenitas
Sejarah telah membuktikan bahwa upaya dan tindakan untuk menciptakan kehidupan yang seragam ditolak oleh banyak orang. Postmodernisme sebagai aliran filsafat kontemporer, salah satu faktor kelahirannya ialah reaksi terhadap modernisme yang “mengagungkan” keseragaman. Bukti kegagalan modernisme dengan penciptaan makna ideal (Keseragaman) sebagai jalan menuju kemaslahatan bersama dapat dilihat dalam dua fakta.
Pertama, auschwitz yakni lambang pembantaian enam juta orang Yahudi oleh NAZI. Oleh postmodernisme, Auschwitz adalah realitas yang tidak dapat dipahami, yang bertentangan dengan paham modernisme bahwa segala sesuatu dapat dipahami. Kedua, robohnya tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet. Kenyataan ini menunjukkan bahwa orang menilai keberagamanlah yang menuntun terealisasinya kehidupan yang harmonis. Pengakuan akan keberagaman membuat kehidupan lebih berarti dan manusiawi (Wirawan, 2015:286).
Sementara itu, realitas semangat keseragaman modernisme sangat tampak belakangan ini di Indonesia. Hal ini pun begitu masif ketika didukung dan dilegitimasi oleh sistem politik. Sistem politik yang bernafsu untuk meraih kekuasan menghalalkan segala cara tanpa memperhatikan keutuhan integrasi bangsa.
Identitas tertentu, agama misalnya, dipolitisasi sebagai mesin politik untuk meraih kekuasaan. Upaya menjadikan Indonesia yang “satu identitas” menjadi propaganda politik demi mendapat dukungan massa tertentu.Dampaknya, kehidupan sosial diwarnai oleh sikap saling prasangka dan benci antargolongan berbeda dan di situ benih-benih disintegrasi bertumbuh.
Pancasila Sebagai Causa Materialis
Bung karno berulang kali menolak dirinya sebagai pencipta pancasila. Ia mengatakan, “saya sekadar penggali Pancasila daripada bumi-tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia”. Pernyataan Bung Karno ini secara gamblang menerangkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila digali dari kebudayaan bangsa Indonesia sendiri (Causa materialis). Bahwasanya, nilai-nilai dalam Pancasila diracik oleh para pendiri bangsa dengan memperhatikan kondisi sosio-budaya Indonesia yang majemuk.
Para pendiri bangsa ini sejak awal telah mengilhami Pancasila sebagai senjata untuk menyatukan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) demi terciptanya kehidupan berbangsa yang harmonis di tengah keberagaman yang niscaya.Bukankah wacana homogenisasi dalam Jakarta Charter sudah sejak awal bangsa ini berdiri ditolak karena mempertimbangkan kondisi bangsa ini yang memang beragam?
Menghidupkan Semangat Multikulturalisme
Peringatan hari lahir Pancasila kali ini mesti dimaknai sebagai imperatif yang urgen bagi segenap elemen bangsa ini untuk kembali menghidupkan semangat multikulturalisme. Masifnya ancaman disintegrasi selama ini, mesti membuka mata hati dan pikiran kita untuk kembali menegaskan fondasi kebersatuan di negeri ini. Esensi munculnya postmodernisme sebagai pandangan yang “mengagungkan” keberagaman mesti kita afirmasi.
Namun, tak cukup sampai di situ. Pengakuan akan keberagaman yang adalah manifestasi dari pluralitas tidak signifikan untuk mengoptimalkan terciptanya integrasi bangsa. Apa nilai sumbangsihnya terhadap upaya menciptakan integrasi bangsa jika kita hanya mengetahui dan mengakui adanya Islam, Hindu, Kristen, Suku Jawa, Suku Batak, Suku Bugis dan sebagainya yang ada di Indonesia?
Optimalisasi termanifestasinya integrasi bangsa yang kokoh mesti melalui penghayatan nilai multikulturalisme dalam kehidupan harian segenap elemen bangsa ini. Dalam multikulturalisme keberagaman atau perbedaan bukan hanya diakui, tetapi juga diberi porsi penghargaan serta terus mendorong terciptanya dialog dan kerja sama yang produktif diantara elemen-elemen yang berbeda tersebut. Dalam kehidupan praktis misalnya dengan mengadakan forum lintas agama dan membantu orang yang berlainan agama dan suku.
Mengamalkan nilai multikulturalisme ini dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan upaya kita untuk terus memelihara dan menegakkan eksistensi Pancasila. Sebab, tatkala tidak ada penghargaan terhadap perbedaan yang ada, setiap SARA bisa saja mengklaim lebih unggul dari pada yang lain. Ini sesungguhnya akar perpecahan. Lebih jauh lagi, penting bagi Pemerintah untuk mengkaji ulang eksistensi sekolah-sekolah “eksklusif” yang masih ada sampai saat ini di Indonesia. Terdapat sekolah-sekolah khusus untuk identitas agama tertentu, terutama di tingkat sekolah menengah. Problemnya, para peserta didik dalam sekolah “eksklusif” seperti ini tidak dapat mengaplikasikan secara langsung nilai-nilai multikulturalisme kepada individu-individu yang berlainan identitas karena selalu berinteraksi dengan orang-orang satu identitas di tempatnya menimba ilmu. Pada peringatan hari lahir Pancasila tahun 2019 ini, Indonesia harus lebih baik!!!