UNAIR NEWS – Deretan jajanan jalanan menghiasi langit sore Karangmenjangan. Lapak pedagang seakan tak pernah sepi didatangi pembeli dari berbagai latar belakang. Macet, ramai, dan riuh suara menjadi pemandangan ketika mengunjungi tempat itu di bulan Ramadhan.
Harga murah dengan porsi banyak, rupanya, menjadi salah satu alasan orang rela berdesakan membeli jajanan. Tak terkecuali mahasiswa UNAIR yang biasa berlalu lalang untuk mencari ta’jil sembari menunggu datangnya waktu berbuka puasa.
Umi Mayadah, mahasiswa perantau asal Jakarta mengungkapkan kekagumannya melihat street food Karangmenjangan. Ia menilai street food Karangmenjangan menjadi titik pusat jajanan yang menyediakan berbagai kebutuhan mahasiswa rantau di sekitaran kampus B UNAIR.
”Di sini makanannya itu banyak banget sampek bingung mau milih apa. Karena, di Karmen itu jadi titik pusatnya jajanan waktu bulan Ramadhan di sekitar kampus B UNAIR. Mau nyari makanan model apapun itu ada. Mulai gorengan, es buah, soto, bakso, sate, sampe makanan yang enggak ada di Jakarta itu ada lo di sini,” ujarnya sembari tertawa.
Umi mengisahkan, terdapat perbedaan budaya makan buka puasa antara Jakarta dan Surabaya. Jika di Jakarta, kebanyakan orang memilih menyantap makanan ringan ketika buka puasa. Sementara, di Surabaya, masyarakatnya lebih memilih makanan berat untuk santapan berbuka puasa.
”Kalau di Jakarta itu jarang langsung makan berat. Soalnya orang sana itu makannya ringan kayak lontong sama sayur. Kalau orang sini itu beda, kebanyakan sih langsung makan berat langsung kayak nasi sama bakso bebarengan,” terang mahasiswi yang gemar beli martabak dan es buah di pasar Karangmenjangan tersebut.
Sementara itu Agus Wisanto, salah seorang pedagang sate di street food Karangmenjangan menuturkan, terdapat sekitar lebih dari 200 pedagang kaki lima yang terdapat di Pasar Karangmenjangan. Para pedagang biasanya dibebaskan menjual dagangannya dengan syarat ditarik uang kebersihan sebesar 2 ribu rupiah.
Bagi mahasiswa, biasanya kadang tidak ditarik sama sekali. Biayanya kebersihannya sudah diwadahi oleh paguyuban PKL.
Lebih lanjut, pria yang kerap disapa Cak Wit itu mengaku terkesan dengan bulan Ramadhan tahun ini. Baginya, selama tujuh belas tahun berjualan sate, bulan Ramadhan selalu membawa berkah dengan naiknya jumlah pembeli.
”Ya Alhamdulillah, semua PKL di sini selalu senang menyambut bulan Ramadhan karena dagangannya jadi rame. Tiap tahun biasanya ada peningkatan, meski kadang nggak banyak. Kayak harga kambing sekarang kan lagi naik. Jadi, saya kalau jual sate kambing itu standar mahasiswa,” tutur Cak Wit pada akhir wawancara. (*)
Penulis: Fariz Ilham Rosyidi
Editor: Feri Fenoria Rifa’i