UNAIR NEWS – Sastra mulanya merupakan kata serapan dari bahasa Sansakerta. Kata dasar sas berarti “instruksi” atau “ajaran”. Sastra mengandung instruksi atau pedoman yang merujuk pada sebuah jenis tulisan yang memiliki arti keindahan tertentu.
Jakop Sumardjo dalam bukunya berjudul Apresiasi Kesusastraan menjelaskan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Karya sastra adalah seni yang bermanfaat untuk kehidupan. Sehingga secara tidak langsung memberi nilai moral kehidupan bagi pembaca. Karya sastra juga memberi kepuasan batin bagi pembacanya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya serta lingkungannya.
Unsur agama terdiri atas manusia, penghambaan, dan Tuhan. Tuhan sebagai Maha Kuasa dan manusia sebagai hamba Tuhan. Esensi dari agama sendiri adalah untuk membimbing manusia menjadi seseorang yang berbudi baik. Selain itu manusia diharapkan mampu menemukan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Sekilas bila diamati agama dan sastra memiliki relasi untuk bersama-sama menyuratkan pedoman hidup. Agama dan sastra bagaikan tali anyaman yang saling terkait sebagai pegangan hidup manusia untuk mencapai tujuan. Seolah agama dan sastra saling bekerja sama sebagai penopang hidup manusia.
Namun siapa sangka dibalik persamaan itu, pada kenyataannya, agama dan sastra memiliki belenggu pertahanan yang tidak bisa diruntuhkan. Agama dan sastra memiliki tembok pembatas yang menghalangi keduanya untuk bersatu. Hakikat agama dinilai memiliki hukum-hukum yang mengikat umatnya. Serta memunculkan suatu doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Ada batasan tertentu dalam agama yang mempersempit gerak manusia.
Berbeda halnya dengan sastra yang dimaknai sebagai sesuatu yang fleksibel dan tidak mengikat. Kebebasan adalah kunci mutlak sastra sesungguhnya. Sastra diibaratkan sebagai suatu jiwa yang bebas. Dalam sastra manusia dibebaskan berekspresi, Tidak ada batasan aturan yang mendoktrin manusia benar atau salah.
Dilansir dari medcom.id dikatakan bahwa sejak era Balai Pustaka (1920) kesadaran pentingnya menjembatani hubungan sastra dan agama sudah muncul. Hal Itu terbukti dengan terbitnya Nota over de Volkslectuur, atau dikenal dengan sebutan Nota Rinkes. Nota Rinkes menyatakan, karya sastra tidak boleh berpolitik, menyinggung agama (netral), dan kesusilaan masyarakat.
Ditambah menurut Subijantoro Atmosuwito dalam bukunya Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra (1989) menjelaskan bahwa sastra membutuhkan ilmu lain dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas. Bahkan, sastra hanya akan berguna jika dikaitkan dengan faktor-faktor luar, termasuk nilai-nilai ajaran keagamaan.
Sehingga dapat diperjelas kembali bahwa sastra dan agama dalam satu sudut pandang memang memiliki tujuan yang selaras. Namun sastra dan agama tidak bisa dianggap sebagai satu kesatuan. Dalam satu kutipan dari medcom.id disebutkan “jatuhnya, ketika sastra membaca agama dari sudut pandang berbeda, muncul perasaan takut, tersinggung, bahkan terhina,”. Sebab pada intinya ketika sastra berbicara persoalan agama, maka hal itu merupakan omong kosong yang tidak dibarengi dengan etika.
Penulis: Tunjung Senja Widuri
Editor: Khefti Al Mawalia