Planet atau plastik? Kata “atau” adalah sebuah kata sambung yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat, seperti kata dengan kata, frase dengan frase ataupun kalimat dengan kalimat. Tetapi sejak kapan kata “planet” dan “plastik” bisa menjadi pilihan yang sederajat ataupun seimbang?
Produk plastik pertama kali diciptakan dari bahan seluloid di tahun 1868 oleh John Wesley Hyatt. Sejak saat itu senyawa plastik yang lain digunakan untuk memproduksi peralatan rumah tangga, stoking sampai pesawat militer. Plastik berhasil menggantikan bahan tradisional seperti kayu, batu, tulang, kulit maupun logam dengan proses produksi yang murah dan hasil yang tahan lama. Sifatnya yang tahan lama dan sulit terurai inilah yang membawa kita ke masalah lingkungan baru yaitu sampah plastik. Menurut hasil studi NOAA, sebuah badan ilmiah di Departemen Perdagangan AS sebagaimana dilansir oleh BBC, menunjukkan bahwa mangkuk styrofoam baru bisa terurai setelah 50 tahun, kaleng aluminium setelah 200 tahun dan botol dari minuman yang sering kita beli di mini market dan toko kelontong baru bisa terurai secara alami setelah 450 tahun.
Menurut BBC dari sumber Euromonitor, botol-botol minuman merupakan jenis sampah plastik yang paling banyak. Di tahun 2016 saja, sekitar 480 miliar botol plastik dijual di seluruh dunia, atau sekitar satu juta botol plastik per menit. Dengan jumlah sebesar itu wajar saja jika plastik bisa dibandingkan dengan planet kita. Tanpa tindakan nyata, bumi akan menjadi planet plastik.
Di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, bangkai paus sperma ditemukan dengan 5,9 kilo sampah plastik di perutnya (Kompas.com, 22 November 2018). Wilayah konservasi mangrove di Muara Angke sempat tercemar karena kedatangan lebih dari 50 ton sampah yang sebagian besar merupakan sampah plastik dari lautan (Liputan6.com, 28 November 2018). Perlukah lebih banyak tanda-tanda lain yang lebih buruk untuk membuat kita sadar?
Daur ulang sepertinya sudah tidak bisa lagi menjadi satu-satunya cara untuk mengatasi masalah sampah plastik. Berbagai inovasi sudah dikembangkan untuk mendaur ulang sampah plastik, mulai dari pengembangan eco-brick, mengolahnya menjadi bahan bakar sebagaimana yang dilakukan pemkot Semarang, sampai mencampurnya dengan aspal untuk pembangunan jalan raya seperti yang diujicobakan oleh Dinas PU di Bali.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah bumi ini menjadi “Planet Plastik”? Kita bisa mulai dari diri sendiri, tentukan pilihan kita, planet atau plastik? Istilah ini sering kita dengar akhir-akhir ini karena istilah ini merupakan kampanye dari sebuah media internasional, National Geographic. Setelah menentukan pilihan, tindakan nyata apa dari diri kita sendiri yang bisa kita lakukan?
Pertama, refuse. Kita bisa menolak penggunaan plastik sekali pakai seperti sedotan, tas kresek, sendok/garpu plastik, gelas maupun botol plastik. Hal ini bisa kita lakukan mudah dan sederhana dengan bilang “tanpa sedotan, mbak” saat memesan minuman di kantin, atau “gak usah sendok plastik, mbak”. Tanpa sedotan kita masih bisa minum dari gelasnya. Tanpa sendok plastik kita masih bisa makan dengan tangan, bahkan hal itu disunnahkan. Relakan untuk makan di tempat, jika tidak siap tas pengganti kresek.
Kedua, reduce. Selalu membawa tas atau totebag berbahan kain untuk menggantikan tas kresek. Kurangi minum air kemasan gelas atau botol saat tidak mendesak.
Ketiga, reuse. Kita bisa menggunakan kotak makan atau botol sendiri yang bisa dipakai berulangkali. Saat terpaksa menggunakan tas kresek dari mini market, lipat dan simpanlah untuk dipakai kembali.
Selain tindakan nyata dari diri sendiri, semua pemangku kepentingan, dari hulu sampai hilir serta pemerintah sebaiknya terlibat langsung dalam upaya pencegahan dan penanggulangan polusi sampah plastik yang kian hari kian mengkhawatirkan. Produsen bisa menciptakan inovasi kemasan lain yang ramah lingkungan, seperti misalnya kemasan produk dari rumput laut yang dirintis oleh Evoware. Restoran-restoran bisa mengganti sedotan plastiknya dengan sedotan dari lain misalnya kertas. Pemerintah bisa mendukung program ini dengan mengeluarkan larangan menggunakan sedotan atau kantong plastik. Pasar-pasar tradisional maupun minimarket bisa dibudayakan untuk memakai kantung kertas berwarna coklat sebagaimana di negara lain.
Sampai kapan kita terus memakai plastik tanpa kendali. Seandainya kita tidak bisa merubah kebiasaan orang lain. Mari kita mulai dari diri sendiri. Jangan sampai kota terbenam oleh plastik yang tak bisa redam.