UNAIR NEWS – Pada dasarnya, tubuh memiliki sebuah sistem bernama Self healing. Saat terserang penyakit, maka tubuh bisa melakukan penyembuhan sendiri tanpa perlu antibiotik. Pemberian antibiotik sembarangan justru akan menyerang daya tahan tubuh itu sendiri. Yang terjadi, bukannya sembuh, malah semakin sakit.
Di dalam tubuh ada namanya normal flora berjumlah sekitar 90.000-100.000 triliun. Flora normal merupakan kumpulan organisme yang menghuni organ tertentu di tubuh manusia. Umumnya, flora normal terdiri dari bakteri baik yang menjaga organ tersebut.
Jika normal flora berada di usus, maka mereka bertugas menghancurkan makanan serta memproduksi vitamin B kompleks dan vitamin K. Selain itu, kehadiran normal flora juga untuk meng-injust munculnya imunitas atau antibodi, serta menghambat pertumbuhan bakteri patogen atau bakteri penyebab penyakit.
Ketua Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Hari Paraton ,dr .,Sp.OG(K) menjelaskan, ketika seseorang mengonsumsi obat antibiotik secara serampangan, maka bakteri baik akan ikut terbunuh. Sementara bakteri pathogen yang resisten dengan antibiotik akan terus berkembang karena tidak ada yang menghambat.
“Ini yang disebut dengan selective pressure. Sebagian ditekan, sebagian lain muncul,” ungkapnya.
Hari menekankan, pemakaian antibiotik sebenarnya hanya diperlukan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan karena infeksi bakteri.
“Antibiotik bukan digunakan untuk mengatasi penyakit akibat virus, seperti radang tenggorokan, pilek, demam, herpes, flu, gondongan, cacar air, varisela, dan demam berdarah,” ungkapnya.
Di antara penyebab tingginya kasus resistensi antibiotik di Indonesia, salah satunya disebabkan karena mudahnya masyarakat mendapatkan obat antibiotik tanpa resep dokter.
“Saat ini, ketidakpatuhan terhadap penggunaan antibiotik sudah mendera masyarakat, dan tidak lagi sesuai indikasi, jenis dan dosisnya. Apalagi, sekarang antibiotik bisa dibeli di warung-warung, kios dan apotek tanpa harus dengan resep dokter,” ungkapnya.
Menurutnya, resistensi antibiotik terjadi ketika seseorang mengonsumsi antibiotik tanpa mengikuti aturan yang dianjurkan dokter. Dalam hal ini tidak mematuhi takaran obat yang harus diminum, jadwal waktu konsumsi obat, serta kedisiplinan menghabiskan obat sampai tuntas.
Hari juga menekankan kepada pihak klinis agar tidak gegabah dalam mendiagnosa suatu penyakit. Terkadang penyakit karena infeksi virus dan bakteri sukar dibedakan. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan darah pasien agar dapat mengatasi keraguan tersebut.
“Sepatutnya dokter melakukan pemeriksaan secara mendalam pada pasien, agar tidak terjadi salah diagnosis antara penyakit karena virus dengan penyakit karena bakteri,” jelasnya.
Naskah: Sefya H Istighfaricha