Selamat datang musim kampanye!!! Begitulah kira-kira masyarakat dalam menyambut masa pemilihan umum Presiden tahun 2019. Tentunya dalam waktu dekat akan marak alat peraga yang dipasang di setiap sudut strategis sebuah daerah. Namun, beberpa waktu lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan aturan main tentang kampanye dengan memanfaatkan media sosial yaitu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Tentunya hal ini menarik para peserta pemilihan umum termasuk calon legislatif untuk menggunakannya dengan berbagai pertimbangan, diantaranya lebih murah dan lebih longgar, walaupun para calon peserta Pemilu tersebut juga menekankan bahwa media sosial bukanlah sebagai tumpuan sepenuhnya dalam menjaring suara dalam Pemilu (Jawa Pos, 18/10).
Di era digital ini, kampanye di media sosial merupakan alat komunikasi yang memang dirasa paling efektif untuk mendongkrak suara, memobilisasi pendukung (supporter) serta mempengaruhi opini publik (Stier, 2018). Berbagai kajian tentang kampanye di media sosial pun telah banyak dilakukan, mulai yang berfokus bagaimana mendesaian komunikasi yang tepat untuk pengguna berbagai macam platform media sosial yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda hingga nilai popularitas sebuah akun seorang politisi yang tidak beriringan dengan kesuksesan atau kemenangan dalam pemilihan umum (Bright, et al., 2017).
Dalam PKPU tersebut, aturan berkampanye di media sosial menyangkut: 1)pembatasan akun media sosial yang digunakan untuk setiap jenis aplikasi; 2)bentuk dan materi kampanye dalam media sosial yang menyangkut tulisan, suara, gambar dan/atau gabungan kesemuanya; 3)pendaftaran akun resmi media sosial peserta Pemilu; 4)tata cara periklanan media dalam jaringan beserta bentuk dan materi iklannya. Selain itu juga terdapat larangan-larangan kampanye kepada media cetak, media elektronik, media dalam jaringan, media sosial dan lembaga penyiaran yang menyangkut tentang: 1) pemblokiran segmen dan waktu; 2)program sponsor dalam format dan segmen apapun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye Pemilu; 3)penjualan spot iklan yang tidak dimanfaatkanoleh salah satu peserta Pemilu. Sementara itu PKPU ini juga memuat kewajiban untuk media cetak, media elektronik, media dalam jaringan, media sosial dan lembaga penyiaran untuk: 1) menyiarkan Iklan kampanye Pemilu dalam durasi tertentu dengan mempertimbangkan rasa adil, berimbang dan tidak memihak ke salah satu calon peserta.
Tentunya untuk dapat berpartisipasi dalam pesta demokrasi melalui media sosial, jaringan internet beserta infrastruktur pendukung menjadi kuncinya. Di sisi para calon legislatif maupun calon pemilih, dengan lanskap geopolitik Indonesia dan kualitas infrastruktur digitalnya yang tidak merata, kemajuan komunikasi internet yang pesat di daerah perkotaan tentu bebeda dengan yang ada di area terpencil. Hal ini menyebabkan adanya ketidakrataan informasi yang didapat dan dinikmati oleh warga negara.
Digital Divide dan Hak Dasar Warga Negara
Adalah Kesenjangan Digital atau Digital Divide yaitu kondisi yang menggambarkan kesenjangan antar individu, rumah tangga, bisnis, kelompok masyarakat dan area geografis pada tingkat ekonomi sosial yang berbeda dalam hal akses Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau telematika dan penggunaan internet untuk berbagai aktifitas sehari-hari (OECD, 2001). Isu kesenjangan digital (digital divide) inilah yang perlu mendapatkan perhatian diluar hingar bingar pesta demokrasi.
Mengenai isu TIK tentunya hal ini kontra dengan amanah UUD 1945 Pasal 28C yangmewajibkan Negara untuk memberikan hak kepada warga negaranya untuk menikmati ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatpendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”, haruslah dimaknai sebagai sebuah hak yang tidak hanya berfokus atau beririsan dengan masalah pendidikan, tapi lebih sebagai ke hak fundamental yang dapat memperbaiki kualitas seorang warga negara.
Pada akhirnya kesenjangan digital ini bukanlah sebuah fenomena melainkan merefleksikan kondisi kesenjangan lainnya termasuk kondisi pendidikan, layanan kesehatan, tempat tinggal, pekerjaan, air bersih, pangan dan lain sebagainya (Kurbalija, 2014) . Untuk itu perlu dipikirkan kembali oleh Negara untuk selalu memenuhi hak dasar masyarakat, termasuk hak untuk menikmati ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk turut serta mensukseskan pesta demokrasi yang ujung-ujungnya dapat dimanfaatkan sebagai tolak ukur menghapus kesenjangan digital.