UNAIR NEWS – Permasalahan yang muncul, Cryptocurrency tidak mematuhi prinsip – prinsip syariah. Bahkan di Mesir, pemerintah melarang penuh penggunaan Cryptocurrency ini. Cryptocurrency terlalu cepat karena kita harus mengetahui dengan pasti bagaimana bank sentral akan merespon akan Cryptocurrency ini.
Apakah dengan risiko yang ada bisa diminimalisir, sehingga bisa mematuhi prinsip syariah dan bisa digunakan sebagai transaksi ?
Kemajuan ekonomi digital telah membawa pertumbuhan pada perekonomian sekaligus gaya hidup masyarakat Indonesia. Ekonomi dan keungan syariah memiliki banyak peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan di era digital. Sehingga Cryptocurrency bagian dari perkembangan teknologi digital yang memiliki votalitas tinggi dan potensi instabilitas.
“Cryptocurrency memiliki empat karakteristik yang berpotensi menimbulkan risiko yaitu, No Regulasi, Peer to Peer, Pseudonymity, No Control Authority,” imbuh Jardine A. Husman, selaku Assistant Direstor of Islamic Economics Departemen, Bank Indonesia.
Ia menjelaskan, dalam prespektif ekonomi Cryptocurrency tidak lengkap memenuhi tiga fungsi uang. Volatilitas batasi Cryptocurrency sebagai alat penyimpanan uang, skala dan jaringan yang menerima Cryptocurrencymasih terbatas, membatasi penggunaan Cryptocurrency sebagai alat tukar, hingga saat ini sangat sedikit bukti bahwa digunakan sebagai satuan hitung (Unit of Account).
Cryptocurrency memiliki risiko yang tinggi dalam sistem pembayaran, risiko konvertibilitas yaitu tidak ada jaminan ditukarkan dengan fiat money, tidak ada perlindungan investor. Stabilitas sistem keuangan, risiko votalitas harga yang tinggi karena nilainya ditentukan pada penawaran dan permintaan di masa mendatang (Spekulatif). Aktivitas illegal, pseudonymity dari mekanisme menyebabkan pelaku transaksi tidak dapat diidentifikasi. Perlindungan konsumen, tidak terdapat pengelolah yang jelas sehingga sulit meminta pertanggungjawaban jika terjadi permasalahan.
“Respon kebijakan dan stance Bank Indonesia memperingatkan untuk tidak melakukan kegiatan jual/beli atau perdagangan Cryptocurrency (investasi) karena rentan risiko pencucian uang. Cryptocurrency tidak diakui sebagai alat pembayaran di Indonesia sesuai dengan UU Mata Uang,” tegasnya ketika berbincang dengan UNAIR NEWS melalui via Whatsapp, pada Kamis (19/10).
Ia menuturkan, respon kebijakan terhadap Cryptocurrency dengan pengaturan Cryptocurrency di berbagai negara bervariasi. Melarang secara tegas karena rentan dimanfaatkan untuk tindak kejahatan dan manipulasi serta berisiko terhadap stabilitas system keuangan (bubble & fluktuatif). Mengatur secara ketat, terutama di Negara yang pemahaman masyarakat terhadap teknologi dan investasi sudah baik. Memanfaatkan teknologi untuk kepentingan nasional dan belum memiliki stance yang jelas dan tegas.
“Seperti halnya di Filipina, BSP bertujuan mengatur penggunaan Cryptocurrency dalam layanan finansial terutama pembayaran dan remitansi yang dinilai mempunyai dampak material pada APU & PPT, perlindungan konsumen, serta stabilitas keuangan. Sehingga Exchange harus mempunyai Certificate of Registration (COR), manajemen risiko terkait teknologi, control internet, serta pelaporan secara periodic. Dengan otoritas, Bangko Sentral Ng Pilipinas (BAP),” tandasnya.
Penulis: Rolista Dwi Oktavia
Editor: Nuri Hermawan