UNAIR NEWS – Universitas Airlangga terbuka untuk menerima mahasiswa dari berbagai kalangan, termasuk, mahasiswa dengan kebutuhan khusus atau yang biasa disebut dengan inklusi. Kali ini, untuk pertama kalinya, atas inisiasi dari tim Pengembangan Direktorat Pendidikan dengan tim inklusi, UNAIR mengadakan pelatihan relawan mahasiswa berkebutuhan khusus.
Pelatihan ini melibatkan dosen Fakultas Psikologi dan Fakultas Sains dan Teknologi, serta alumni bekebutuhan khusus dan relawan. Pelatihan diberikan oleh tim pengelola inklusi UNAIR, alumni, dan relawan. Sementara etika pendampingan diberikah oleh Dr. Afiah Hayati, Dra, M.Kes dari FST dan tim inklusi UNAIR.
Pelatihan itu diikuti oleh sebanyak 30 mahasiswa dari berbagai fakultas, setelah melalui berbagai seleksi. Pelatihan diberikan oleh dosen psikologi, relawan, dan praktisi mahasiswa berkebutuhan khusus.
Kordinator inklusi Universitas Airlangga Dr. Nono Hery Yunanto, S.Psi, MPd., Psikolog mengatakan, tujuan diadakan pelatihan ini antara lain pertama, membekali kemampuan kognitif relawan, meliputi konsep dan filosofi inklusi, serta macam-macam disabilitas.
“Selain itu, membekali kemampuan afektif, relawan dilatih untuk punya sikap positif ketika melakukan pendampingan kepada mahasiswa berkebutuhan khusus; ketiga, membekali skill dan ketrampilan,” papar Nono, sapaan karibnya.
Pada pelatihan ini, relawan dilatih keterampilan dengan bermacam-macam kekhususannya. Materi yang diberikan kepada relawan meliputi filosofi inklusi, pemahaman dasar disabilitas, bagaimana membantu belajar teman-teman disabilitas, dan tentang etika.
Selain pemateri dan para relawan, pelatihan juga dihadiri sekitar 6 mahasiswa di UNAIR yang berkebutuhan khusus, seperti tunadaksa, tunanetra, tunarungu, cerebral palsy, dan kebutuhan khusus lainnya. Sehingga, antara relawan dapat berinteraksi dan memahami secara langsung mahasiswa berkebutuhan khusus.
Tindak lanjut setelah pelatihan ini, yang sudah tergabung menjadi relawan akan membantu kebutuhan khusus mahasiswa. Ini sejalan dengan semangat UNAIR untuk membuat kampus yang inklusif: menerima mahasiswa berkebutuhan khusus.
“Harapannya, pimpinan UNAIR lebih aware, aware memang faktanya ada mahasiswa berkebutuhan khusus yang butuh fasilitas, sarana dan prasarana. Ke depan dalam jangka panjang, bisa menerima mahasiswa berkebutuhan khusus dengan seleksi sendiri. Dengan adanya pelatihan ini ada, proses awareness dari dosen dan pimpinan masing-masing fakultas, paling tidak untuk sarana dan prasarana,” terang Nono.
Salah satu pemateri yang merupakan dosen Fakultas Psikologi UNAIR Dr. Wiwin Hendriani menyampaikan materi tentang pemahaman dasar disabilitas. Ia mengatakan, untuk membekali relawan, mereka harus paham bagaimana teman-teman berkebutuhan khusus.
“Membantu relawan bukan sifatnya untuk mempermudah, tetap menekankan kemandirian, karena kita justru membantu mereka untuk tangguh,” terang Wiwin.
Dyah Katarina S.Psi, M.Psi anggota komisi D DPRD Kota Surabaya yang turut hadir dalam acara mengatakan bahwa sekolah inklusif harus dipahami semua komponen sekolah, meliputi siswa, guru, petugas kebun, kantin, maupun masyarakat sekitar.
Ia mengatakan, ada kebijakan anggaran anak bekebutuhan khusus dari Dinas Pendidikan Kota Surabaya, meskipun tidak spesifik untuk anak berkebutuhan khusus. Yakni meliputi sarana dan prasarana untuk membangun fasilitas sekolah.
Sementara itu, Esa Fatika Arif Dewi relawan mahasiswa prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR mengatakan, pendampingan ini akan dilakukan selama satu tahun. Berupa pendampingan selama perkuliahan. Esa tertarik menjadi relawan karena suka dengan kegiatan pengabdian. Baginya, pengabdian bukan hanya membantu finansial.
“Aku jadi lebih tau ternyata ada orang lain yang berkebutuhan khusus yang harus dibantu. Kemarin ada tunanetra yang nyasar ke Pusat Bahasa UNAIR sampai empat kali. Dari situ aku semakin ingin menjadi relawan,” papar Esa.
Mohamad Reza Pahlavi peserta magang di Jurnal Ilmiah Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik (MKP) FISIP UNAIR juga turut datang dalam pelatihan ini. Reza yang pernah kecelakaan semasa duduk di bangku SMA, kini harus memakai alat bantu untuk berjalan.
Alumnus Universitas Brawijaya ini berharap, pendidikan bisa menjangkau semua pihak, termasuk teman-teman disabilitas bisa memiliki wadah. Kampus memfasilitasi agar mahasiswa difabel setara dengan yang lain.
“Semoga UNAIR ke depan benar-benar menjadi kampus inklusif. Akses sarana, prasarana, dan bangunan yang aware terharap kebutuhan inklusi mudah-mudahan terwujud semua,” papar Reza. (*)
Penulis: Binti Q. Masruroh