UNAIR NEWS – Bicara tentang sastra, terdapat sebuah kutipan menarik dari sang maestro sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dirinya mengatakan, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya tinggal hewan yang pandai”.
Kalimat dari Pram tersebut seolah menyiratkan betapa penting makna dan esensi sastra dalam mempengaruhi konstelasi sejarah peradaban manusia. Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata ‘sas’ yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk. Sedangkan akhiran ‘tra’ merujuk pada alat atau sarana. Sehingga sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Sejarah sastra di Pulau Jawa dimulai dengan penemuan sebuah prasasti Jawa Kuno di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur pada tahun 804 Masehi. Sejak saat itu, sastra terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Eksistensi sastra telah mewarnai serta mengabadikan sejarah panjang perjalanan bangsa.
Sebagai wilayah cikal bakal kemunculan sastra di tanah Jawa, Jawa Timur telah banyak melahirkan penyair dan penulis besar dengan karya-karya melegenda. Mulai dari pujangga kenamaan zaman Majapahit, seperti Mpu Tantular dengan Kitab Sutasoma dan Mpu Prapanca dengan Kitab Negarakertagama, hingga sastrawan kenamaan masa kini, seperti Budi Darma, Zawawi Imron, dan Nirwan Dewanto.
Menilik lebih dalam terkait perkembangan sastra di Jawa Timur, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Ida Bagus Putera Manuaba, Drs., M. Hum, memberikan penjelasannya.
Prof. Putera mengatakan, secara umum, sastra Indonesia di Jawa Timur perkembangan yang cukup pesat. Hal itu ditandai dengan jumlah komunitas sastra di Jawa Timur yang terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
“Saya tidak bisa menyebutkan berapa kuantitatifnya. Hampir di setiap daerah memiliki komunitas sastra. Di Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, Gresik, Banyuwangi, Blitar. Terakhir saya lihat, juga ada di Madura. Jika dulu hanya memusat di Jakarta, Jogja, sekarang sudah menyebar ke daerah-daerah,” sebutnya.
Bukan hanya itu, Prof. Putera memaparkan, sastra di Jawa Timur memiliki ciri khas lokalitas yang kuat.
“Semisal karya sastra ditulis di Lamongan, maka nilai-nilai lokal di Lamongan muncul di karya sastra itu. Semacam kearifan local. Apabila dibaca oleh masyarakat, akan mengingatkan pada kearifan lokal di situ. Secara tidak langsung, karya sastra yang ditulis juga mendokumentasi atau mempelajari tentang persoalan di masyarakat tersebut,” jelasnya.
Laki-laki yang juga menjabat sebagai ketua juri dalam ajang penghargaan sastra Anugerah Sutasoma beberapa waktu lalu tersebut menambahkan, saat ini penulis sastra di Jawa Timur juga mengalami sejumlah transformasi. Banyak penulis sastra daerah yang mulai menggeluti sastra Indonesia.
“Sekarang perkembangannya banyak yang menulis sastra Indonesia. Kalau yang sastra daerah, biasa ditulis penulis di majalah sastra daerah yang masih ada di Jawa Timur atau diterbitkan sendiri. Banyak anak muda yang lebih menyukai sastra Indonesia, sehingga semakin jarang penulis yang menekuni sastra daerah,” paparnya.
Lebih lanjut, Prof. Putera mengatakan, kecintaan generasi muda terhadap dunia kesusastraan perlu ditanamkan sejak dini. Semisal dengan adanya pembelajaran sastra di sekolah. Saat ini, sastra hanya menjadi bagian kecil dari pelajaran bahasa. Pembahasan terkait seluk beluk sastra tidak begitu intens dilakukan. Maka tak heran jika banyak ditemui anak-anak yang kurang tertarik terhadap sastra.
“Seharusnya, pelajaran tentang sastra diberikan porsi lebih besar. Membaca, menulis, harus diintensifkan. Dengan begitu, minat siswa akan tumbuh dengan sendirinya. Kurikulum saat ini, sastra hanya dijadikan sebagai contoh untuk kasus-kasus bahasa, contoh cerita yang dikaji dari segi bahasa, jadinya tidak menarik, mestinya lebih dari itu,” terang laki-laki kelahiran Bali tersebut.
Kendati demikian, generasi muda saat ini patut bersyukur. Sebab, wadah untuk menyalurkan bakat dan minat di bidang sastra, kini dapat ditemui dengan mudah. Tentu sayang sekali jika media semacam komunitas sastra tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
“Dengan adanya komunitas sastra, generasi muda bisa berkarya, bertemu dengan teman-teman penulis, semangat menulis mereka juga akan terpacu. Komunitas sastra memiliki peran cukup penting dalam membangkitkan gairah sastra anak-anak muda. Sastra tidak hanya dikuasai oleh mahasiswa jurusan sastra. Siapapun bisa belajar dan menikmati sastra,” imbuhnya.
Pada akhir, Prof. Putera berharap, karya sastra di Jawa timur dapat lebih berkembang di masa mendatang. Sastra perlu mendapat perhatian serius dari lembaga-lembaga terkait, yang secara kolaboratif dapat menciptakan kesinambungan pada organisasi sastra, memberikan dukungan dan apresiasi bagi para pegiat sastra untuk terus berkarya. (*)
Penulis : Zanna Afia Deswari
Editor: Binti Q. Masruroh