UNAIR NEWS – Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama dunia. Yakni, lempeng Eurasia, Indoaustralia, dan Pasifik. Sekaligus Indonesia terletak pada Ring of Fire (Wilayah Cincin Api). Akibatnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan terjadi bencana alam.
Misalnya, yang terdekat, fenomena tiga bencana yang terjadi secara berkesinambungan di Sulawesi Tengah, tepatnya, Palu, Donggala, dan wilayah Patobo pada Jum’at (28/10). Berawal dari gempa bumi berskala 7.4 Skala Richter, Palu kemudian diterjang tsunami hingga tinggi mencapai 3 meter. Beberapa hari berikutnya, terjadi fenomena likuifaksi (tanah bergerak) yang menenggelamkan satu Kelurahan Petobo.
Sebelumnya, pada Juli 2018, Lombok Utara turut dilanda gempa yang hingga kini masih memasuki tahap rehabilitasi. Bahkan, sesuai terjadi bencana-bencana tersebut, beberapa wilayah Indonesia masih dilanda gempa-gempa lanjutan. Namun, kekuatannya tidak mencapai 7,4 Skala Richter seperti di Situbondo dan Selatan Malang, Jawa Timur.
Atas fenomena-fenomena tersebut, sangat diperlukan bagi Indonesia manajemen bencana yang baik untuk meminimalkan risiko kerugian yang lebih besar. Terutama dengan melibatkan berbagai pihak dengan latar belakang keilmuan yang berbeda pula. Salah satunya, dari bidang ilmu kesehatan masyarakat.
Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga, Dr. Atik Choirul Hidajah dr., M.Kes, menjelaskan bahwa manajemen bencana adalah penanggulangan bencana yang menjadi suatu siklus penanganan sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana terjadi. Setelah terjadi bencana, segera dilakukan respons dengan pemberlakuan masa tanggap darurat.
Biasanya berlangsung selama dua minggu, tapi hal itu juga bergantung pada situasi dan kondisi. Fokus kegiatan pada fase respons atau tanggap darurat tersebut adalah pencarian korban dan penyelamatan jiwa manusia. Pada masa tanggap darurat itu, tenaga bidang kesehatan masyarakat melakukan Rapid Health Assessment (RHA) dan melakukan surveilans untuk mengamati penyakit guna mewaspadai peningkatan kasus.
”Setelah periode respons selesai, selanjutnya adalah tahap recovery. Dalam tahap recovery, kegiatan pengamatan penyakit yang berpotensi wabah masih terus dilakukan,” ucap dr. Atik.
Fase mitigasi bencana diberlakukan setelah fase recovery dilakukan. Fokus dari mitigasi bencana adalah merancang berbagai strategi untuk mengurangi dampak bencana jika bencana serupa kembali terjadi. Hal yang dilakukan pada tahap tersebut bersifat strategis seperti membuat zonasi bahaya. Setelah mitigasi bencana selesai dilakukan, fase berlanjut pada tahap preparedness atau kesiapsiagaan.
”Contoh dari mitigasi bencana, misalnya, kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan setelah terjadi tsunami di Aceh. Yaitu, adanya zonasi bahaya, sekian meter dari pantai tidak boleh dijadikan tempat tinggal,” ucapnya.
Menurut dr. Atik, selama ini yang orang pahami bahwa sesudah bencana yang penting adalah bagaimana memberikan respons medis setelah bencana. Padahal sebenarnya, public health memiliki peran yang sangat besar. Yakni, mulai dan sebelum terjadi, saat, serta pasca bencana.
”Di dalam tanggap darurat bencana tidak hanya medis. Tetapi peran dari bidang kesehatan masyarakat atau dari psikologi juga besar. Jadi, memerlukan interprofessional collaboration. Saya sangat menyambut baik telah mulai dikembangkan interprofessional education di UNAIR,” sebutnya.
Dijelaskan oleh dr Atik, mindset interprofessional collaboration diupayakan terbangun. Karena itu, pendidikan dilaksanakan, ditekankan, dengan konsep interproffesional education.
”Jadi, nanti akan dipelajari bahwa dalam hal penanggulangan bencana bukan hanya pada aspek bidang keilmuannya, tapi kolaborasinya dengan bidang ilmu yang lain,” tambahnya.
Sebab, lanjut dr Atik, kegiatan tanggap darurat tidak hanya dilakukan oleh bidang kedokteran dan keperawatan. Fakultas dan bidang keilmuan yang lain juga dapat men-support hal tersebut. Misalnya, public health, gizi, dan psikologi.
Pada akhir, menurut dr Atik, peran UNAIR dalam kebencanaan ini tentu akan makin menonjol. Mengingat, UNAIR juga memiliki program studi magister manajemen bencana. Di samping program studi lain yang relevan dalam penanganan bencana pada berbagai strata.
”Peran prodi lain di luar bidang kesehatan juga perlu didorong untuk hal ini. Misalnya, prodi teknologi lingkungan dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Selain itu, diperlukan tidak hanya kolaborasi antar bidang ilmu di UNAIR. Dimungkinkan ada kolaborasi dengan perguruan tinggi yang lain. Misalnya, kolaborasi antara UNAIR dan ITS untuk melakukan penanganan bencana secara komprehensif di Surabaya. Sebab, dalam kebencanaan, bukan hanya satu sektor saja yang bekerja, tapi dari berbagai sektor. (*)
Penulis: Galuh Mega Kurnia
Editor: Feri Fenoria