Eksistensi museum di Indonesia sebagai salah satu objek wisata sekaligus media edukasi bagi generasi bangsa tidak begitu tampak. Apresiasi terhadap diorama kebudayaan bangsa tergolong sangat rendah. Hal ini terlihat dari sepinya warta, perayaan, serta ucapan “selamat” kepada sang Museum yang merayakan ulang tahunnya pada 12 oktober lalu. Padahal refleksi serta perayaan Hari Museum Nasional tak kalah penting dengan momentum hari bersejarah lainnya. Secara mendasar kemungkinan besar masih banyak masyarakat yang kurang familiar dengan Hari Museum Nasional.
Sebagai informasi awal, ditetapkannya 12 Oktober sebagai Hari Museum Nasional adalah hasil pertemuan yang dilakukan oleh Musyawarah Museum se-Indonesia (MMI) pertama, yang diselenggarakan pada 12-14 Oktober 1962 di Yogyakarta.
Kembali pada persoalan diatas, menjadi rahasia publik bahwa banyak permasalahan yang ada di dalam museum dan tak kunjung terselesaikan. Antara lain, terkait sumber daya manusia (tenaga professional) dan pendanaan pengelolaan museum untuk merawat koleksi yang butuh perlakuan istimewa, sampai marketing museum yang kurang baik untuk menarik kunjungan masyarakat.
Universitas Airlangga sebagai salah satu kampus ternama di Indonesia, termasuk instansi pendidikan yang memiliki kebanggaan terhadap kekayaan budaya bangsa yang tinggi. Sebab, kampus yang terletak di Surabaya ini memiliki tiga museum yakni, Museum Etnografi di FISIP, Museum Kedokteran di FK, dan Museum Sejarah dan Budaya di FIB. Keberadaan ketiganya adalah suatu bentuk apresiasi kepada kebudayaan bangsa oleh manajemen Universitas Airlangga. Meskipun museum tersebut juga mengalami permasalahan yang sama dengan museum milik Negara ataupun swasta.
Oleh karena itu, upaya untuk mengoptimalkan manfaat dan fungsi museum sebagai objek wisata sekaligus media edukasi diperlukan kerjasama berbagai pihak. Manajemen kampus, pengajar, dan mahasiswa perlu dilibatkan dalam proyek meningkatkan marwah museum di kampus timur jawa dwipa ini.
Museum dan Apresiasi
Museum sebagai simbol kepribadian bangsa kini tengah berada pada fase krisis. Baik Museum Etnografi, Museum Sejarah dan Budaya, dan Museum Kedokteran memiliki kondisi yang hampir sama. Atensi terhadap museum-museum tersebut masih tergolong rendah. Situasi paling baik ialah ketika terdapat kunjungan dari tamu “istimewa” pada serangkaian acara eventual semata, dan keadaan akan kembali buruk pasca acara.
Setidaknya terdapat beberapa permasalahan yang patut diketahui dan menjadi perhatian bagi manajemen universitas. Pertama, tidak adanya struktur pengelolaan museum yang jelas. Kedua, pendanaan perawatan koleksi museum sangat minim. Ketiga, branding museum yang miskin inovasi. Rentetan endapan permasalahan tersebut perlu segera dicairkan dengan kajian yang serius dalam ruang kerja manajemen kampus hingga melahirkan solusi yang tepat.
Dalam situasi degradasi identitas dewasa ini, penguatan karakter jati diri sebagai bangsa dengan peradaban besar sangatlah dibutuhkan. Maka tidak boleh ada alasan yang menghalangi upaya perbaikan pengelolaan museum secara terpadu. Demi tujuan baik sebagai media edukasi kepribadian yang luhur.
Daripada bermain game mobile legend, hago, pubg, nongkrong di kantin dengan bahasan yang kurang bermanfaat, atau, bermain kartu uno di perpustakaan. Bukankah lebih baik mengunjungi museum untuk mendapatkan pengalaman keindahan dan mempelajari koleksi-koleksi yang ada di museum?.
Dengan museum kita belajar jatuh cinta. Cinta kepada kebudayaan peradaban bangsa.
Mengembalikan Marwah Museum
Koleksi-koleksi yang tersimpan dalam etalase-etalase museum adalah harta kekayaan yang perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Eksistensi museum tidak boleh kalah dengan ruang publik yang lain. Sebab, terlalu buruk jika museum sebagai ruang publik hanya didirikan dan di isi benda-benda bersejarah, namun miskin apresiasi dan atensi serta tanpa kebermanfaatan. Maka, menjadi kewajiban bersama untuk mengembalikan marwah museum serta memaksimalkan peran dan fungsinya bagi kehidupan berbangsa.
Manajemen fakultas maupun universitas perlu melakukan gebrakan untuk mengeluarkan museum dari kubangan permasalahan klasik. Aksi nyata berupa pembentukan struktur pengelolaan museum secara professional dan terpadu, memberikan pendanaan yang cukup untuk perawatan koleksi dan museum, serta merumuskan strategi marketing museum supaya khalayak tertarik untuk berkunjung; misalnya dengan mengadakan pameran koleksi-koleksi museum secara berkala.
Selain itu variabel yang terus menguat dan tidak boleh diabaikan oleh birokrasi kampus dalam usaha mengembalikan marwah museum adalah mahasiswa. Mereka yang diidentifikasi sebagai generasi millennial perlu dilibatkan secara aktif, terutama ikhwal branding museum. Ide-ide segar dan kreatif generasi millennial akan sangat membantu menarik pengunjung. Dengan manajerial museum yang baik, pendanaan yang cukup, serta inovasi branding yang terus disesuaikan, niscaya museum akan mengalami penguatan eksistensi.