UNAIR NEWS – Peningkatan keterampilan ibu-ibu dan mengubah mindset masyarakat bahwa sampah plastik tidak selalu menjadi sumber masalah sangat diperlukan. Khususnya menekankan bahwa sampah plastik bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu barang yang berguna.
Untuk merealisasikan hal tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga melalui Departemen Pengabdian Masyarakat mengadakan pelatihan pembuatan Ecobrick di Asem Jajar, Kelurahan Tembok Dukuh, Bubutan, Surabaya. Tepatnya di RT 9 dan RT 10 pada Minggu (14/10).
Ketua Pelaksana kegiatan tersebut Eka Fitria Sari menjelaskan, ecobrick merupakan salah satu teknik mengolah sampah plastik yang baru. Istilah harfiahnya adalah bata ramah lingkungan. Cara pembuatannya yaitu dengan memenuhi volume sebuah botol plastik 150 ml dengan sampah plastik hingga botol plastik tersebut mengeras menyerupai bata.
”Alasan kami memilih ecobrick awalnya karena ada salah seorang panitia kami yang memperkenalkan. Lalu, kami mencoba melakukan survey dengan kuisioner dan ternyata 100 persen warga di sana belum ada yang tau apa itu ecobrick,” jelas perempuan yang akrab disapa Eka itu.
Eka menambahkan, dirinya melihat ecobrick tersebut akan berpotensi baik di sana. Sebab, warga sudah menjalankan bank sampah.
Menurut Eka, di setiap akhir penimbangan bank sampah, terdapat sampah plastik yang tidak laku di jual. Misalnya, kresek, bungkus mie, snack, dan sabun cuci, serta sampah plastik sejenis. Dari pengamatan tersebut, dia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ide ecobrick menjadi sebuah acara.
”Jumlah ecobrick yang berhasil terkumpulkan hari ini dari ibu-ibu RT 9 dan RT 10. Ada 59 botol ecobrick yang beratnya bervariasi, berkisar antara 300 sampai 800 gram,” ujar mahasiswi FKM angkatan 2016 tersebut.
Setelah melakukan sosialisasi terkait ecobrick, sesuai dengan kesepakatan bersama, hasil dari ecobrick buatan ibu-ibu tersebut kemudian dibuat menjadi meja. Kegiatan pembuatan meja itu dilakukan di puskesmas pembantu di RT 10.
”Setelah sambutan dan sebelum praktik pembuatan meja, kita menayangkan video tentang cara membuatnya. Ada sedikit penjelasan, lalu dilanjutkan dengan praktik yang kurang lebih satu jam waktunya,” ungkap Eka.
Menurut Eka, panitia tidak menyangka bahwa ternyata antusiasme masyarakat (ibu-ibu peserta kegiatan) lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekspektasi. Sebab, sebelumnya panitia menyediakan ecobrick yang dibuat panitia sendiri sebagaia antisipasi bila jumlah yang terkumpul dari warga tidak sampai 16 (syarat untuk bisa membuat meja). Ternyata malah lebih. Bahkan, berat setiap ecobricknya hingga mencapai 700 sampai 800 gram.
”Padahal awalnya kami kira cuma 500an gram maksimal. Selain itu, waktu praktiknya tadi ibunya semangat banget. Sudah langsung dilakukan dan hasilnya rapi, sesuai dengan harapan kami. Bahkan salah seorang warga ada yang ikutan joget-joget ngikuti lagu yang diputar, saking senangnya sudah selesai duluan mejanya,” jelas Eka.
Eka berharap, setelah acara tersebut dilangsungkan, masyarakat dapat mengambil ilmu dan mempraktikkan keterampilan yang diberikan. Terutama mereka mampu melakukanya secara mandiri dan berkelanjutan meski tanpa campur tangan dari panitia. (*)
Penulis: Galuh Mega Kurnia
Editor: Feri Fenoria