UNAIR NEWS – …………….. Akhirnya. Si istri tadi memenuhi permintaan Bu Nyai, karena tidak mungkin ia menolak ajakan orang yang paling dihormati di Desa itu.
Si istri itu kemudian diajak masuk ke rumah Bu Nyai.
“Bu, ini Bapak dapat sedekah banyak dari para santrinya. Saya dengar Pak Karmin adalah orang yang paling pandai menyembunyikan sedekahnya. Bapak berpesan agar sebagian sedekah ini diamanatkan untuk Pak Karmin agar dibagikan ke orang yang membutuhkan. Bagaimana Bu ?”
Si istri terdiam.
“Bu ?”
Barulah si istri berterus-terang.
“Andai, Bu Nyai bersedia. Bolehkah saya pulang dulu, bertanya kepada Bapak dan mengantarkan zakat anak-anak ini dahulu kepada yang berhak Bu.”
Bu Nyai itu ganti terdiam. Mungkin ia terhenyak, karena selama ini ia dan Pak Yai tidak tahu bahwa Pak Karmin juga membagikan zakat. Mungkin di benaknya. Pak Karmin hanyalah penerima zakat. Kenapa harus sengotot itu dalam beragama—apakah urusan berbagi itu primer dalam agama.
“Baiklah Bu, saya ngikut saja.”
Walhasil, malam itu si istri tetap hanya bisa membagikan tiga kantong zakat seperginya dari rumah Bu Nyai. Walau di depan mata ia bisa saja meminta belas kasihan Bu Nyai untuk menutup kekurangan satu kantong zakat demi suaminya. Tapi ia tidak melakukan itu. Baginya konteks amanat yang disampaikan Bu Nyai ada satu hal. Dan kewajiban zakat bagi keluarganya adalah hal yang lain.
Sesampainya di rumah, sang istri memutuskan untuk mengurangi jatah beras untuk keperluan sehari-hari. Dan kantong zakat ke empat itu ditunaikan demi membersihkan syahwat keduniaan manusia dan menuju pada kefitrian.
Pak Karminpun memandang ketulusan istrinya itu dengan kasih sayang.
“Tak usah khawatir Pak. Ibu tidak pernah tahu apa rencana Allah. Dan insyaallah, kita tidak akan pernah kelaparan Pak.”
Senyum Pak Karmin merekah.
“Kaulah paras mulia, satu dari banyak istri yang sangat kaya, Bu. Allah tidak salah mejodohkan kita.”
bersambung…
Penulis: Sukartono (Alumni Matematika UNAIR 2012)