HEBERT Feith, seorang Indonesianis sekaligus professor ilmu politik terkemuka, mempunyai perhatian khusus terhadap sejarah Indonesia modern.
Ia berpandangan bahwa melalui pemuda dan intelektual, Indonesia di awal abad XX ini bahasan diskusi tentang nasionalisme menjadi lebih konkret. Latar belakang yang membawa dinamika demikian itu tidak lain karena terjadi berbagai macam bentuk perubahan yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara.
Abad XX adalah abad dimana ide-ide baru terkait pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, disintegrasi masyarakat kuno, dan perkembangan teknologi, mulai memasuki sendi-sendi kehidupan sosial, baik secara kemasyarakatan maupun pemerintahan (Wibowo, 2016).
Di Indonesia sendiri, tentunya juga merasakan hal serupa bahwa timbulnya disintegrasi masyarakat lama yang “gagal” atau tidak mampu menyesuaikan dengan segala macam bentuk perubahan yang ada. Walhasil, timbullah guncangan sosial yang menciptakan fenomena generation gap diantara masyarakat lama dan masyarakat baru. Catatan Wibowo (2016), secara umum kondisi demikian itulah yang melatarbelakangi munculnya peranan politik pemuda awal abad XX.
Secara sederhana, generation gap dapat diartikan sebagai sebuah perbedaan cara pandang antara generasi muda dan generasi tua. Sehingga jelas, ketika benih perjuangan kemerdekaan di kalangan kaum muda mulai tumbuh dengan diiringi berbagai macam bentuk perubahan, disinilah kemudian apa yang disimpulakn Herbert Feith menjadi sangat wajar.
Saat itu, pemuda mampu membawa pandangan-pandangan baru tentang nasionalisme yang menjadi cikal perjuangan pengusiran penjajah dari bumi nusantara. Herbert Feith juga mencatat penyebaran isme-isme (aliran) yang sedang berkembang di dunia masuk ke Indonesia dan kemudian bersinkretis dengan nilai tradisional, sehingga melahirkan peta pemikiran politik Indonesia modern (Wibowo, 2016).
Kemudian pemuda, dalam pandangan sejarahwan Onghokham, pada umumnya adalah yang berumur dibawah 30 tahun, memegang peranan penting hanya pada saat-saat tertentu, seperti perang dan revolusi. Pandangan ini benar, tapi kebenarannya tidak secara mutlak.
Berpegang pada pendapat Herbert Feith sebelumnya, peranan penting pemuda tidak hanya pada saat tertentu saja, seperti perang dan revolusi. Pentingnya peran dan posisi pemuda, menurutnya, juga sangat berpengaruh pada kondisi-kondisi stagnan yang dialami oleh entitas politik dalam hal kenegaraan.
Dalam catatan John Ingleson, kita dapat mengetahui bagaimana pemuda dapat mengambil dan menjalankan peran vital bagi masa depan suatu bangsa. Sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negara Belanda mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI).
PI kemudian mengobarkan semangat dan konsepsi nasionalisme, khususnya tentang perspektif bangsa Indonesia yang akan dating. Bahkan menurut John Ingleson, mereka (para pemuda) itu mampu menjadi kekuatan politik orang muda (mahasiswa) yang cukup diperhitungkan pemerintahan kolonialisme di Hindia Belanda dan negara Belanda.
Keyakinan ini semakin diperkuat dengan pendapat George Mc T.Kahin dalam bukunya “Nationalism and Revolution in Indonesia”. Disini George juga melihat peranan pemuda dan mahasiswa sangat besar dalam menjalankan dan mengatur revolusi di tahun 1945-1949.
Berdasarkan kajian-kajian diatas, penulis berkeyakinan bahwa peran pemuda akan selalu ada dalam setiap nafas perjuangan bangsa Indonesia, baik dari era kolonialisme, awal kemerdekaan, tumbangnya Orde Lama, kesuksesan gelombang reformasi 1998 yang berhasil menghanyutkan Orde Baru, dan bahkan hingga hari ini pemuda tetap dan akan selalu memiliki “tangan emas” dalam setiap gejolak kebangsaan di negeri tercinta ini. (*)
Editor : Bambang Bes
Sumber: Wibowo, Ari. (2016) ”Gerakan Mahasiswa” dalam Seminar kuliah Gerakan Sosial dan Politik Identitas, FISIP UNAIR.