UNAIR NEWS – Menggambarkan manusia dari kehidupan masa lalu dan sekarang dengan landasan teori ilmu sosial dan ilmu hayati adalah tugas para antropolog. Melalui pijakan antropologi, seorang antropolog bisa menjejaki karir di bidang apapun yang berhubungan dengan manusia dan kebudayaan.
Seperti misalnya, musibah kecelakaan yang merenggut korban pesawat Air Asia akhir 2014, atau tenggelamnya para imigran gelap tahun 2011 di perairan Trenggalek, membutuhkan tangan para antropolog ragawi dalam melakukan identifikasi para korban.
Selain dalam hal ragawi, antropolog juga melakukan kajian terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Seperti misalnya, pengkajian mengenai sekolah khusus perempuan di suatu wilayah. Para antropolog mengkaji latar belakang budaya mengenai pendirian sekolah perempuan.
Itulah sebagian kecil kiprah para antropolog Universitas Airlangga yang dituturkan oleh Koordinator Program Studi S-1 Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Drs. Yusuf Ernawan, M.Hum. “UNAIR benar-benar mencetak seorang antropolog yang handal dan berintegritas,” tutur Yusuf.
Seiring berkembangnya zaman, prodi Antropologi UNAIR kian berkembang. Yusuf mengungkapkan, saat ini, Antropologi UNAIR memiliki dua cabang peminatan, yaitu Antropologi Sosial Budaya dan Antropologi Ragawi. Di dalam Antropologi Ragawi, salah satu hal yang dipelajari adalah Antropologi Forensik.
“Di tempat lain, Antropologi Forensik nyaris belum dikembangkan,” jelasnya.
Namun, untuk saat ini, Antropologi Forensik dianggap lebih menonjol karena banyaknya kasus kecelakaan dan kriminalitas. “Jadi kecelakaan pesawat atau kapal tenggelam itu kita bekerja sama dengan kepolisian. Jadi nama kita nyaris sering terdengar di masyarakat,” ungkap Yusuf.
Selain itu, Antropologi juga berkembang dari sisi ruang lingkupnya. Yusuf mengungkapkan bahwa kajian antropologi tidak hanya terkait kecelakaan, fosil, dan candi. “Kita mau ngomong apapun itu bisa, mulai kesenian, agama, seksualitas, pendidikan, perubahan sosial, bahkan pariwisata itu ruang lingkup kita semua, ada mata kuliahnya. Jadi, luas sekali,” tandasnya.
Dalam kurikulumnya, antropologi dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang kegiatan mahasiswa. Salah satunya adalah museum antropologi atas kerja sama dengan Dirjen Kebudayaan. Selain itu, para mahasiswa juga akan menyelenggarakan PKL (Praktik Kuliah Lapangan), sehingga terjun langsung pada masyarakat.
“Karena idealnya itu harus sering ke lapangan, jadi ilmu antropologi itu untuk memahami masyarakat,” terang Yusuf. “Sebenarnya bukan sekedar mengetahui atau mendeskripsikan, tapi juga bisa memahami, masyarakat yang diteliti itu seperti apa, setelah paham dia menjadi mediator untuk menjelaskan pemahaman itu kepada pihak lain atau masyarakat luas,” imbuhnya.
Ke depan, Yusuf berharap agar Antropologi UNAIR terus berkembang dan mencetak antropolog yang mumpuni. Bahkan, Yusuf mengaku mendapatkan dorongan dari para mahasiswa agar segera membentuk Program Magister untuk Ilmu Antropologi.
“Banyak juga mahasiswa yang mendorong kita untuk mendirikan S-II. Lah, nanti akan kita planning dan diskusikan,” ujarnya positif. (*)
Penulis : Dilan Salsabila.
Editor : Defrina Sukma S