KETIKA roda jaman mulai berganti, era keterbukaan yang semakin masif telah dirasakan bahwa saat inilah kita berada dalam era globalisasi. Ya, globalisasi dewasa ini tidak hanya mempengaruhi bentuk perekonomian, politik, keamanan, atau kebudayaan suatu negara. Dewasa ini globalisasi ternyata juga telah mempengaruhi bentuk pergerakan mahasiswa.
Selama ini mahasiswa menjadi salah satu aktor yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap dinamika perkembangan jaman. Di beberapa negara, pergerakan yang dilakukan mahasiswa mampu menghasilkan suatu bentuk perubahan besar terhadap kondisi internal negara tersebut. Inilah yang setidaknya pernah terlihat di beberapa negara seperti Mesir dan juga Indonesia, yang menyoal bagaimana pergerakan mahasiswa berperan.
Di Mesir kita mengenal Ikhwanul Muslimim (IM) yang mampu menjadi pejuang kemerdekaan di negara itu. Anggota IM memang tidak sepenuhnya dari kalangan mahasiswa (pelajar). Sekalipun demikian tidak mengurangi betapa pergerakan mahasiswa telah menjadi kekuatan tersendiri dari suatu masyarakat.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia, beberapa pergerakan mahasiswa mampu mereformasi struktur pemerintahan seperti halnya peralihan orde lama ke orde baru dan orde baru menuju era reformasi. Sejatinya begitu besar kekuatan (power) yang dimiliki mahasiswa sebagai aktor yang dapat dinilai jauh dari kepentingan-kepentingan politis (political interests) di dalam setiap pergerakannya.
Berdasarkan pada fakta sejarah, pergerakan mahasiswa sangat identik dengan permasalahan high politic suatu negara. Mahasiswa menjadi pihak yang merasa sangat marah ketika pemerintah mengambil sikap/kebijakan yang tidak pro-rakyat. Terlihat jelas ketika tahun 1974 mahasiswa menjadi pihak yang lantang menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei yang hendak melakukan kerjasama dengan pemerintah RI saat itu. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malari (Malapetaka limabelas januari) itu didasari atas idealisme mahasiswa yang menolak kehadiran kembali bangsa asing untuk meletakkan kembali kaki dan tangan kotornya di bumi Pertiwi ini.
Idealisme seperti inilah yang dulu melatar belakangi setiap pergerakan mahasiswa. Hal serupa juga dilakukan mahasiswa beberapa waktu belakangan ini, ketika pemerintah mengambil kebijakan melepas sebagian pengelolaan Blok Mahakam dan memperpanjang kontrak Freeport, maka mahasiswa kembali turun bersuara.
Namun terdapat perbedaaan yang sangat nyata dari dua peristiwa tersebut. Perbedaannya adalah kekuatan (jumlah) mahasiswa dalam berhimpun. Mengapa? Sebab dalam globalisasi, konsep kesatuan aksi pergerakan mahasiswa tidak lagi terlihat. Seakan konsep itu bukanlah suatu hal yang harus dipertahankan, sehingga yang terjadi pergerakan mahasiswa mengalami “diaspora”, bukan dalam hal wilayah namun dalam ide dan bentuk pergerakannya.
Diaspora pergerakan mahasiswa dalam globalisasi membawa ide dan bentuk pergerakan menjadi beragam (divers). Hal ini tidak seperti yang terjadi pada pengaruh globalisasi terhadap kebudayaan, dimana sebelumnya adalah hal yang beragam (divers) menjadi hal yang seragam (uniform). Sebaliknya globalisasi membawa ide dan bentuk pergerakan yang sebelumnya seragam (uniform) menjadi sangat beragam. Inilah yang terjadi ketika pergerakan mahasiswa telah dipengaruhi oleh faktor-faktor globalisasi. Kemudahan akses informasi dan transportasi menghasilkan sebuah fenomana unlimited interconection yang membuat pergerakan mahasiswa mampu “ber-diaspora”.
Sehingga sangat terlihat jelas perbedaan pergerakan pada saat ini, mahasiswa memiliki banyak alternatif gerakan yang dapat dipilih sesuai dengan passion, tidak lagi hanya soal aksi protes dan demonstrasi terhadap rezim.
Salah satunya melalui komunitas, sehingga beragam komunitas lahir dengan spesifikasi berbeda-beda. Ada yang didasari atas kesamaan hobi, tetapi juga yang berlatar belakang permasalahan sosial seperti komunitas anti-rokok, komunitas anti korupsi, dan komunitas lain yang bergerak di bidang social development. Beberapa telah mencerminkan adanya pergerakan yang inspiratif seperti pergerakan yang concern dalam social development. Tetapi banyak juga mahasiswa yang tergabung dalam pergerakan sangat tidak produktif yang mana hanya berlatar belakang hobi dan kesenangan pribadi semata.
Globalisasi membawa hal baru bagi pergerakan mahasiswa yaitu internasionalisasi. Berbagai komunitas mahasiswa telah mampu mengenalkan pergerakannya di dunia melalui forum-forum internasional. Sehingga inilah yang membuat diaspora pergerakan tidak melulu hanya pada satu tempat/negara, namun dapat menyebar luas di barbagai penjuru dunia.
Sayangnya, disisi lain globalisasi telah melunturkan semangat kesatuan aksi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa tak lagi peka terhadap isu-isu high politic seperti pada masa reformasi. Sekalipun beragam pergerakan dirasa cukup mampu menyentuh isu-isu low politic seperti permasalahan pendidikan, kemiskinan, dan lingkunga, namun hal itu belumlah cukup. Pergerakan mahasiswa harus tetap mampu mempertahankan eksistensinya melalui konsep kesatuan aksi, bukan malah berdiaspora sehingga semakin mengecilkan hardpower mereka sebagai mahasiswa.
Hal ini terbukti dalam kasus Blok Mahakam, mahasiswa tidak mampu menjadi preasure group yang digdaya untuk pemerintah, tidak seperti era peristiwa Malari. Hal ini mencerminkan sebuah bentuk “gradasi” pergerakan yang membuat tidak ada satu warna yang dominan. Hingga menyebabkan melemahnya power gerakan mahasiswa secara umum.
Ketika globalisasi membawa inovasi dalam pergerakan mahasiswa, maka alangkah bijak bila hal itu tidak menghilangkan identitas dan peranan mahasiswa sebagai agent of change, moral force dan iron stock bagi masa depan bangsa dan negara. Fenomena “diaspora” pergerakan mahasiswa harus mendapat suatu bentuk pengawalan, yaitu kesatuan visi. Hal ini untuk tetap konsisten menjaga dan mengawal setiap kebijakan pemerintah sekalipun mereka telah berdiaspora. (*)
Editor : Bambang Bes