Dia sendirian sejak kecil, orang tuanya lengkap, namun goresan-goresan tulisannya selalu mengesankan dia dalam kesepiannya. Segalanya yang serba ada justru menjauhkan dirinya dari kesenangan. Seolah tanpa teman, suara teriakkannya hanya disaksikan oleh dinding-dinding bisu, tetesan air matanya hanya sebagai pembasah lantai yang bisa di buat untuk berkaca tamu-tamunya. Dia bukan anak tunggal, saudaranya empat, dan dirinya adalah si bungsu tanpa perhatian. Mungkin apa yang dirasakannya hanya sedikit kisah kengerian rumah itu yang dikiaskan dalam puisinya sebagai istana para mumi. Benarkah begitu malang nasibnya hingga karya-karyanya begitu menusuk para pembacanya, bahkan beberapa bernada kritikan dan gugatan atas takdir yang harus ditanggungnya. Namun apakah pantas aku menyebut karyanya sebagai ungkapan seorang yang sedang menangis sejadi-jadinya, dan ku sebut dia adalah perempuan cengeng yang mengharap uluran kasih sayang dari pembacanya. Dan aku tidak hendak mengkritiknya.
Sore itu, aku menyempatkan diri untuk mengenalnya lebih jauh melalui dua sahabatnya. Aku memang mendekat pada penulis berwajah datar itu, namun suratku yang sudah ku kirim berulang-ulang lagi-lagi hanya mendapatkan balasan “maaf”, sepertinya dia memang hendak menyembunyikan identitasnya. Namun hingga sore ini banyak tanya di lubuk sanubariku, benarkah orang yang dipuja tulisan-tulisannya itu, sesungguhnya sedang menanggung beban deritanya. Dan hipotesaku masih coba kupegang. Bagiku, aku tak setuju orang-orang menisbatkan tulisan-tulisannya itu sebagai bagian dari kisah nyata dalam hidupnya. Mungkin orang hebat memang mesti misterius atau memang jalan hidupnya adalah untuk disalah pahami banyak orang.
“Apa gunanya menjadi orang terkenal, jika toh hanya akan menenggelamkan sisi nyata pribadiku. Dan kemudian banyak orang mencoba memanipulasi kebenaran pribadiku.” begitulah tuturnya dalam peluncuran buku barunya yang berjudul Aku Telah Pulang.
Buku yang diluncurkan itu memang seperti buku-buku sebelumnya, selalu laris, namun setiap kali orang memuji tulisan-tulisannya, mengagung-agungkan karyanya, menyebut-nyebut bukunya sebagai karya “best seller”, justru dari situlah terbersit angannya untuk sesegera mungkin mengakhiri aktivitas tulis menulisnya. Lagi-lagi, dia mengucapkan kata-kata yang sulit dimengerti “Aku tidak lebih penting dari kumpulan tulisanku ini, biarkan kalian mengenangku dalam tulisan itu saja dan tidak untuk mengenalku apalagi memujiku.”
Kesempatan demi kesempatan saat peluncuran buku-buku karyanya benar-benar momen misterius yang terus kurekam baik-baik. Kata demi kata coba ku telaah, dan dua orang sahabatnya Dea dan Andro sore ini ku ajak bersantai di taman ini. Akhir pekan yang indah dan waktu yang luang, mungkin telah membuat sepasang kekasih ini rela menyempatkan waktunya sekadar berbincang denganku tentang sahabatnya itu.
“Dia bukan misterius, dia orang cerdas yang tidak percaya atas kehebatannya itu” begitu kata mahasiswa sastra semester akhir itu, Dea.
Aku jadi tertarik dengan pengatar yang diberikan Dea, kutanyakan sisi-sisi keistimewaan dari penulis terkenal itu. Namun Dea sepertinya enggan terlalu jujur bercerita, Dea nampak merasa dalam bebannya jika harus berbicara lebih detail tentang sahabatnya itu. Satu yang menarik menurutnya adalah sahabatnya itu orang sederhana dan sangat romantis. Ketika ku kejar soal kehidupannya di rumah, dia banyak menjawab “Aku takut salah menjawab.” Dan pacarnya Andro juga seirama “saya kurang tahu”.
“Orang mengenal Alifia melalui tulisannya, dan kami mengerti apa yang dikehendakinya. Dia resah bukan atas dirinya sendiri. Dia menggugat seolah-olah atas realitas diri pribadinya namun sesungguhnya dia bebas dari beban-beban yang disangkakan padanya.” tukas Andro.
Perbincangan menarik itu memang tidak bisa membuatku puas, semua berjalan mengalir, dan dari dua orang sahabatnya nampak terdapat hal yang keduanya tak bisa buka untuk orang yang barangkali hanya sebatas pengagum gelap si Alifia. Aku sendiri ragu, jangan-jangan aku tak tulus untuk menggali tentang penulis ini. Aku malah merasa aktivitasku sebenarnya sia-sia. Siapa Alifia ? Pentingkah buatku ? Untuk apa aku ingin mengenalnya ? Dan stop sejubel pertanyaan itu harus ku tanggalkan dan malah ku ingat penggalan kata-katanya “Aku menulis tanpa alasan, dan jangan tanyakan alasan, percaya atau tidak kalian mengejarku agar berpamrih, maka aku perlu mengungkapkan alasan.” Aku sedikit tersenyum dalam hati, “alasan, haruskah ada”, begitu justru aku mempertanyakan diriku sendiri.
Alifia, perempuan itu barangkali menggoda fikiranku sejenak, tapi perlukah aku mengendurkan niatku untuk bertemu dengannya. Baiklah akhirnya akupun terpaksa menyusun alasan, alasan itu adalah aku ingin menulis tentang penulis kondang itu. Terlepas alasan itu benar atau palsu, yang penting aku punya alasan untuk sesuatu yang aku kerjakan. Begitulah mungkin cukup untuk meyakinkanku, agar sisi lain suara hatiku tak selalu menggodaku untuk berkata tidak.
Bersambung ….