Dr. Prihartini Widiyanti, Mendidik Tak Dapat Dinilai dengan Materi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi UNAIR NEWS

UNAIR NEWS – Citra sebagai seorang dosen dan peneliti senior telah melekat pada sosok Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes. Berbagai prestasi dan jabatan telah disandang perempuan usia 40 tahun ini. Ia adalah seorang dokter gigi, peneliti, pengajar, pendidik. Bukan hanya untuk mahasiswa, tetapi juga untuk keluarga dan putra putrinya.

Berbagai kesibukan telah Yanti tekuni. Selain sebagai Ketua Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Ilmiah (PPJI) Universitas Airlangga, Yanti merupakan staf pengajar pada program studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR.

Ia juga merupakan anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI), Persatuan Osteoporosis Indonesia (PEROSI), serta International Society of Clinical Densitometry.

Yanti merupakan peneliti senior di Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR. Di ITD UNAIR, Yanti mengabdikan dirinya sebagai peneliti senior bidang riset HIV/AIDS.

“Saya melihat pasien HIV/AIDS dengan wasting syndrome, tinggal tulang dan kulit. Tubuhnya dipenuhi penyakit kulit. Keluarga mereka tidak pernah datang. Mereka hanya dirawat orang-orang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya terketuk. Kondisi pasien yang terminal itulah yang membuat saya ingin mengabdikan diri kepada mereka,” ujar dokter gigi itu.

Yanti telah terbiasa multitasking sejak ia menjalani kuliah sarjana. Ketika menjalani studi S-1 pada Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UNAIR, Yanti bersama teman-temannya mendirikan biro penerjemah. Ia biasa membantu dosen-dosen untuk menerjemahkan naskah  dengan tema yang beraneka ragam, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Ketika melanjutkan program magister, Yanti telah menjalani kesibukan sebagai pegawai honorer di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL (LAKESLA), dan RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Di samping itu, ia juga menjabat sebagai pengasuh rubrik kesehatan di salah satu media massa di Surabaya. Ia membantu rekan-rekan jurnalis yang kesulitan dalam mengoreksi berita dengan istilah-istilah kedokteran.

Aktualisasi

Diakui Yanti, disela-sela kesibukan di dunia akademik ia selalu menyempatkan untuk menghabiskan waktu bersama anak dan keluarga.

“Disela-sela waktu saya harus sangat dekat dengan anak-anak. Main monopoli, ke pasar, sambil ngasih nasihat-nasihat. Anak-anak tidak lepas dari pengawasan saya,” ujar ibu dua anak itu.

Yanti sadar, suatu negara yang besar akan menjadi kuat dari segala terjangan arus ketika para perempuan menempatkan edukasi dan penanaman akhlak yang baik terhadap anak didiknya. Sebagai seorang pendidik, Yanti memiliki mimpi untuk mencetak generasi emas. Mimpi itu yang telah dirintis sejak ia memutuskan menjadi seorang dosen.

Emansipasi wanita dimaknai Yanti sebagai sebuah peluang bagi perempuan untuk menunjukkan aktualisasi diri, bahwa perempuan bisa mengubah dunia dengan pemikiran dan tindakannya. Namun walau bagaimanapun, baginya perempuan adalah seorang pendidik bagi anak-anak dan keluarganya.

“Ketika perempuan diberi posisi hebat di luar, ketika kembali ke keluarga ia adalah seorang ibu. Yang mendidik anak, yang taat kepada suami,” kata perempuan yang sempat memiliki grup band saat SMA itu.

Sebagai peneliti, ia bercita-cita memiliki karya yang memiliki kebermanfaatan sosial yang luas. Bersama Universitas Teknologi Malaysia (UTM), ia telah merintis kerjasama penelitian dan kolaborasi. Yanti menjadi co-researcher tentang penelitian stent pembuluh darah.

“Akhirnya saya percaya bahwa pekerjaan kecil tidak akan terus menjadi kecil. Ia akan menggurita, kemudian akan banyak networking. Di situlah saya merasa bahwa saya berhasil memberikan banyak manfaat untuk semua orang. Itulah kebahagiaan buat saya. Tidak harus tentang uang atau reward,” kata Yanti.

Yanti, dengan segala kesibukannya, ialah pendidik bagi mahasiswa dan anak-anaknya.

“Menjadi dosen, finansialnya memang tidak banyak. Namun, kebahagiaan yang didapat dari mendidik itu yang tidak bisa dibayar dengan apapun,” kata perempuan yang sedang berproses untuk menghafal Alquran itu. (*)

Penulis : Binti Q. Masruroh
Editor    : Defrina Sukma S.

Berita Terkait

Achmad Chasina Aula

Achmad Chasina Aula

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi