Kehadiran internet sebagai gerbang akses informasi telah menciptakan berbagai kemudahan dan manfaat dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun, segala kemungkinan dan manfaat dari internet justru menimbulkan kekhawatiran baru. Salah satunya adalah masalah publikasi data pribadi pengguna. Terdapat beberapa masalah privasi yang muncul dalam situs jejaring sosial, diantaranya, publikasi data diri akan meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan. Masalah lain juga dapat ditimbulkan dari kegiatan memposting konten tentang orang lain di media sosial. Facebook dan Instagram misalnya memungkinkan pengguna untuk mengaitkan atau menyertakan nama orang lain melalui fitur tag. Hal itu bisa jadi dapat menyebabkan ketidaknyamanan bahkan mengancam privasi data akun apabila tidak ada persetujuan dari pihak yang ditandai dalam postingan.
Bukan hanya itu, masalah lebih besar diketahui publik sejak terungkapnya skandal penyalahgunaan data pribadi pengguna oleh salah satu perusahaan media sosial ternama. Ya, skandal Facebook yang melibatkan Cambridge Analytica pada 2018 silam telah membuka tabir para raksasa belantara digital (baca: perusahaan platform digital) terkait penyelewengan data pribadi pengguna. Cambridge Analytica terbukti memanfaatkan data pengguna Facebook untuk kepentingan politik pemilu Amerika Serikat pada 2014. Tak hanya itu, investigasi yang dilakukan New York Times pada akhir 2018 melaporkan bahwa Facebook memberi akses bagi Netflix, Spotify, dan Royal Bank of Canada (RBC) untuk membaca, menghapus, dan menulis pesan pribadi pengguna.
Tak pelak, kabar tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak. Tak sedikit masyarakat yang merasa “dikhianati” sebab penyalahgunaan data pribadi. Alih-alih menjaga kepercayaan, platform media sosial justru melakukan komodifikasi data pengguna untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sebagian masyarakat rupanya terhegemoni oleh istilah “sosial’’ pada kata media sosial, sehingga secara murni mengartikan media sosial sebagai ruang interaksi dan diskusi secara daring semata. Masyarakat belum menyadari bahwa media sosial merupakan bentuk pengawasan terselubung yang dilakukan oleh perusahaan media digital.
Pada tahun 2014, Shoshana Zuboff, penulis dari Amerika Serikat menciptakan istilah lain terkait pengawasan kontemporer yang dikenal dengan surveillance capitalism atau kapitalisme pengawasan. Menurut teori Zuboff, surveillance capitalism adalah bentuk pasar baru dan logika spesifik akumulasi kapitalis. Kapitalisme pengawasan merupakan logika akumulasi yang muncul dari jejak digital, era baru dari penggunaan teknologi digital.
Menurut Zuboff, terdapat pihak yang lebih kuat dan canggih dibanding institusi negara dalam melakukan pengawasan dan mata-mata. Pihak tersebut tak lain tak bukan adalah perusahaan platform digital. Pengguna merupakan pemasok data sekaligus objek periklanan online. Platform media sosial melakukan monetisasi data pengguna untuk kepentingan bisnis atau ekonomi.
Dunia saat ini telah menghadapi rezim baru di era digitalisasi. Dilansir dari laman Media Indonesia (29/12/2019) Agus Sudibyo, Kaprodi Komunikasi Massa Akademi Televisi Indonesia (ATVI) menyebutkan bahwa saat ini kita hidup dalam campur tangan dan pengendalian atas kehidupan pribadi pengguna media sosial. Namun, sebagian besar pengguna media sosial tak menyadari ancaman yang ada di balik euforia sosial media.
Platform media sosial menguasai data diri dan perilaku pengguna melalui proses registrasi pengguna. Demikian pula saat pengguna aktif membuat status, mengunggah foto, memberi komentar atau like. Pada saat tersebut pengguna sesungguhnya sedang membiarkan diri terekam dan teridentifikasi oleh platform media sosial yang digunakan. Tanpa disadari, platform media sosial dan mesin pencari semisal Google, Facebook, Instagram, Youtube, Twitter, dan lain-lain sebenarnya tengah memata-matai pengguna. Perusahaan tersebut melacak dan merekam identitas diri, kebiasaan, dan perilaku para pengguna.
Informasi data pengguna akan diolah menjadi tren pola perilaku yang diganyang oleh para kapitalis melalui godaan iklan dan produk yang berseliweran di laman ponsel. Data perilaku kemudian bertransformasi menjadi surplus perilaku ketika perhitungan algoritma dan kecerdasan buatan (artifficial intelligent) yang mengolah data perilaku untuk menghasilkan prediksi interaksi sosial pengguna hingga pola konsumsi informasi (Sudibyo, 2016).
Selain memperoleh kemudahan dan efisiensi komunikasi dan berbagi informasi, pengguna media sosial juga harus siap dengan konsekuensi yang timbul dibalik manfaat bersosial media. Pengawasan media sosial saat ini dinilai telah melampaui batas ruang pribadi individu. Meski telah menjadi sebuah keniscayaan, efek yang diakibatkan oleh kecanggihan teknologi digital tentu juga harus dibarengi oleh pola pikir dan perilaku yang terliterasi.
Edukasi terkait media digital, perlindungan data digital perlu dikenalkan sejak dini. Sehingga, masyarakat dapat selektif dan mengetahui batasan dalam membagikan informasi maupun data pribadi ke ruang publik, utamanya di dunia maya. Pemerintah juga harus secara tegas mengatur perlindungan hak pribadi pengguna serta merumuskan aturan tentang etika periklanan digital. Pengguna memiliki hak untuk menghapus jejak aktifitas digital mereka sebagai bentuk kedaulatan atas data pribadi. Selain itu memang perlu ada pengawasan masyarakat sipil terhadap perusahaan digital serta pembentukan media atau lembaga alternatif sebagai bentuk perlawanan dari kapitalisme pengawasan yang hanya menguntungkan sebagian orang.