Cancel Culture Bentuk Hukuman Sosial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Dewasa ini masyarakat harus hati-hati dalam menggunakan sosial media untuk menyampaikan unek-unek atau pendapatnya. Bagi masyarakat yang mengunggah kalimat atau pendapat yang menyebabkan keonaran, menimbulkan kebencian, dan sebagainya akan mendapat sanksi hukum lewat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008. Itu adalah Undang-undang yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Namun masyarakat perlu juga tahu bahwa selain sanksi hukum ada juga muncul sanksi sosial baru dari masyarakat yang disebut ‘Cancel Culture’.

Kata kerja to cancel dalam bahasa Inggris secara harfiah berarti ‘membatalkan’, sedangkan kata bendanya adalah cancellation yang berarti ‘pembatalan’. Jadi kalau kita sedang di bandara dan melihat papan pengumuman digital yang menginformasikan bahwa pesawat yang akan kita tumpangi itu cancel, berarti jadwal keberangkatan kita batal. Itu berbeda dengan kata to postpone atau to delay yang berarti ‘menunda’. Jadi kalau ada informasi pesawat kita delayed maka berarti jadwal ditunda sambil menunggu pengumuman lebih lanjut.

Namun sekarang ada arti yang lebih luas dari cancel itu bila dikaitkan dengan kata ‘culture’ atau budaya. Di Amerika Serikat dan sekarang merambah ke seluruh dunia, makna luas cancel culture bukan secara harfiah ‘budaya yang dibatalkan’, namun memiliki makna negatif yang digunakan dalam pidato, debat, dan sebagainya. Istilah Cancel culture atau call-out-culture adalah bentuk pembatalan, pengisosalisasian terhadap seseorang (biasanya selebirti atau politisi) di media social. Jadi istilah ini sebenarnya istilah baru sebagai bentuk ‘boikot’ terhadap seseorang yang dianggap mengeluarkan pendapat atau bertindak yang bernuansa rasis atau yang bermusuhan di luar batas kesopanan. Bila ada seorang selebriti misalnya mengeluarkan kata-kata menghina agama atau ras tertentu, maka masyarakat secara bersama-sama melakukan boikat untuk tidak melihat akun dia di media sosial media, atau keluar sebagai follower yang bersangkutan.

Cancel culture ini mulai digunakan masyaraat sejak 2014 sebagai bagian dari gerakan #MeToo, sebuah gerakan protes para korban pelecehan seksual. Persisnya pada bulan Maret 2014, seorang aktivis bernama Suey Park menyebut tweet rasis terang-terangan tentang orang Asia dari akun Twitter resmi The Colbert Report menggunakan hashtag #CancelColbert. Hal ini menyebabkan kemarahan luas terhadap Stephen Colbert dan banyak yang bereaksi yang lebih besar terhadap Park sendiri, meskipun tweet Colbert Report sebenarnya adalah tweet satir.

Sekitar tahun 2015, konsep cancel culture telah menyebar luas di media sosial untuk merujuk pada keputusan pribadi, kadang-kadang serius dan kadang-kadang bercanda, untuk berhenti mendukung seseorang atau bekerja. Kamus Merriam-Webster menyatakan bahwa untuk ‘membatalkan’ dalam konteks ini, berarti ‘berhenti memberikan dukungan kepada orang’. Dalam kamus budaya pop mendefinisikan budaya pembatalan sebagai ‘menarik dukungan’ untuk ‘membatalkan’ tokoh masyarakat dan perusahaan setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan atau menyinggung.

Sementara itu Jonah Engel Bromwich dari The New York Times, penggunaan pembatalan ini menunjukkan ‘disinvestasi total dalam sesuatu (apa saja)’. Setelah banyak kasus mempermalukan online mendapatkan ketenaran yang luas, istilah pembatalan semakin banyak digunakan untuk menggambarkan tanggapan online yang meluas, marah, terhadap satu pernyataan provokatif, terhadap satu target.

Cancel culture juga terjadi pada masyarakat yang memboikot produk-produk suatu perusahaan dikarenakan perusahaan melakukan tindakan yang dianggap merugikan masyarakat. Di negeri kita hal ini pernah terjadi. Masyarakat secara bersama-sama memboikot perusahaan roti milik Jepang karena mengeluarkan pernyataaan yang menyinggung perasaan para demonstran di Jakarta. Akibatnya, perusahaan ini selama beberapa periode mengalami kerugian.

Karena itu cancel culture tidak hanya merupakan bentuk boikot masyarakat, tapi juga bentuk hukuman masyarakat kepada seseorang yang menjadi publik figure. Cancle culture juga merupakan tuntutan akuntabilitas seseorang karena tindakannya yang negatif dan menyinggung harga diri masyarakat. Seorang selebriti misalnya, membuat pernyataan yang menghina atau merendahkan masyarakat, maka selebriti itu bisa jatuh miskin ketika masyarakat bersama-sama memboikat tidak menonton TV dimana selebriti itu sering tampil. Akibatnya stasiun TV bisa memecat selebriti itu karena ratingnya jatuh. Hal ini juga terjadi para para politisi yang bisa-bisa tidak terpilih lagi karena masyarakat memboikotnya.

Mengingat begitu kuatnya kekuatan sosial cancel culture itu, maka para orang terkenal di negeri ini apakah itu selebriti, politisi, pengusaha kaya, perusahaan besar, dan sebagainya sekarang ini harus hati-hati kalau ngomong. (*)

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.