Direktur LBH Disabilitas: Penyandang Disabilitas Harus Dilihat dari Perspektif HAM

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Direktur LBH Disabilitas Hari Kurniawan sedang memaparkan materinya dalam Seri Diskusi HRLS UNAIR. (Foto: FH UNAIR)

UNAIR NEWS – Human Rights Law Studies UNAIR kembali menggelar seri diskusi yang mengeksplor pertalian HAM dengan berbagai bidang. Pada Jumat sore (1/4/2022), topik yang akan dikaji adalah mengenai hak disabilitas dan Direktur LBH Disabilitas Hari Kurniawan, S.H. diundang menjadi narasumber.

Cak Wawa, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa masih banyak pemahaman yang salah kaprah mengenai disabilitas di Indonesia. Kondisi mereka acapkali ditranslasikan sebagai ketidakmampuan, dan kerap kali menemui stigma dari masyarakat sebagai suatu aib. Di aspek pemerintahan, disabilitas kerap dipandang sebelah mata. Menurut Cak Wawa, hal ini mengakibatkan pada kurangnya akurasi pendataan dan program pemberdayaan disabilitas yang layak, serta minimnya aksesibilitas pada pelayanan publik untuk penyandang disabilitas.

“Penyandang disabilitas adalah orang yang mengalami keterbatasan, baik itu fisik, mental, intelektual, dan/atau sensorik. Keterbatasan tersebut dapat menghambat mereka untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif sebagai negara. Disinilah pentingnya untuk memandang isu disabilitas dari kacamata HAM, karena pertanyaannya adalah apa langkah transformasinya agar mereka dapat berpartisipasi,” ujar advokat itu.

Cak Wawa menuturkan bahwa harus ada perubahan terintegrasi yang diamanatkan UU Penyandang Disabilitas. Rehabilitasi diejawantahkan via menyediakan alat bantu di tempat umum, akses-akses yang ramah disabilitas, dan yang terpenting: perubahan perilaku di masyarakat. Ia menambahkan bahwa penyandang disabilitas acapkali hanya dilihat dari paradigma medis (medical-based) dan donasi (charity-based) saja.

“Model medis memandang bahwa disabilitas itu sebagai penyakit yang harus disembuhkan, dimana model pendekatannya selalu segregatif dan masalah ditimpakan pada individu. Sementara model donasi, disabilitas dilihat sebagai masalah sosial yang pilu sehingga perlu ringan tangan dari orang yang “normal.” Problem dari dua paradigma ini adalah, penyandang disabilitas dilihat sebagai objek belaka,” tuturnya.

Perubahan perilaku tersebut hanya bisa digapai bilamana paradigma tersebut digeser menjadi paradigma HAM. Cak Wawa menekankan bahwa paradigma tersebut memandang penyandang disabilitas sebagai subjek yang berhak atas kesetaraan. Ia menambahkan bahwa hal ini berarti bahwa penyandang disabilitas harus dilihat sebagai bentuk dari keberagaman. Dinding ableism tersebut harus dirobohkan dimana geliat kehidupan publik dan pembangunan menjadi inklusif untuk penyandang disabilitas.

“Advokasi atas nama inklusivitas disabilitas itu tidak susah. Misal di UNAIR, apakah masjid sudah ramah disabilitas? Harus disediakan kursi roda yang suci, akses yang ramah disabilitas, serta juru bahasa isyarat di khotbah Jumat. Itu langkah-langkah konkritnya,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp