Pakar UNAIR Soroti Rencana Pembubaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan Korea Selatan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Yoon Suk-yeol, Presiden Korea Selatan 2022 – 2027. (Sumber: tribunnews.com)

UNAIR NEWS – Pemilihan umum Korea Selatan yang digelar pada 9 Maret 2022 lalu akhirnya memunculkan satu nama pemenang yang menjadi Presiden Korea Selatan saat ini. Yoon Suk-yeol, mantan Jaksa Agung Korea Selatan tersebut unggul 0,7% suara dari lawannya, Lee Jae-myung. Yoon Suk-yeol mendapat 48,5% suara, sedangkan lawannya Lee Jae-myung mendapat 47,8% suara.

Di balik perbedaan tipis suara pemilih, kemenangan Yoon Suk-yeol ternyata memiliki polemik, mulai dari isunya yang antifeminis hingga rencananya untuk membubarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan ketika menjadi Presiden nanti. Kemenangan Yoon Suk-yeol juga terjadi berkat dukungan pemilih laki-laki berusia muda.

Intrik Politik Yoon Suk-yeol

Pakar gender dalam perspektif hubungan internasional Universitas Airlangga (UNAIR), Sartika Soesilowati MA PhD, mengatakan bahwa rencana pembubaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan tersebut hanyalah sebuah marketing belaka. 

“Kalau saya bilang ‘You can’t trust to politician’. Politisi itu seringkali orang yang tidak bisa dipercaya. Dan saya pikir campaign-nya itu sebenarnya merupakan strategi marketing yang berhasil. Saya anggap dia itu seorang marketing yang berhasil membaca kondisi atau memanipulasi kondisi masyarakat,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR itu pada Senin (28/3/2022).

Menurutnya, Yoon Suk-yeol pastilah mendapat tekanan dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri oleh para aktivis feminis Korea Selatan, maupun oleh para aktivis feminis di seluruh dunia. Baca juga tentang pendidikan, teknologi, keuangan, informasi, dan sebagainya di website Nawasiana.

“Strateginya untuk memanipulasi para pemilih muda laki-laki berhasil, tapi untuk benar-benar survive menjalankan kebijakannya, saya kira dia akan berpikir ulang karena tekanan ini luar biasa,” sambung Sartika.

Reaksi Dunia

Sartika menegaskan bahwa Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, sah-sah saja jika ingin membubarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Hal itu, lanjutnya, merupakan urusan domestik dalam negeri. Menurutnya, selama lembaga legislatif dan masyarakat di Korea Selatan setuju, negara lain tidak perlu campur tangan dalam urusan tersebut.

“Dan saya kira negara juga negara lain tidak perlu campur tangan. Untungnya apa?” ujar lulusan S1 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada itu.

Namun, Sartika juga mengatakan bahwa permasalahan utama justru ada pada badan-badan internasional. 

“Di UN (United Nations, red) Security Council juga diperkuat posisi perempuan dalam masalah keamanan, di politik. Ada badan-badan multilateral maupun organisasi-organisasi masyarakat internasional yang mungkin akan bereaksi,” tutur Sartika.

Jika Yoon Suk-yeol berani membubarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, sambungnya, berarti pemerintah Korea Selatan mengurangi secara drastis tanggung jawab pemerintah untuk mengimplementasikan kesepakatan internasional. Selain itu, tambah Sartika, Indonesia mungkin akan membatasi hubungan dengan Korea Selatan, tetapi tidak ikut mengintervensi kebijakan yang dilakukan oleh Yoon Suk-yeol.

“Kalau ada pelanggaran hukum internasional, seperti pada human rights (baru diintervensi, red),” jelas Sartika.

Sebagai penutup, Sartika mengatakan bahwa untuk menegakkan konsep gender equality, terutama di Korea Selatan, masih membutuhkan jalan panjang dan berliku. Jalan itu, sambungnya, juga tidak mudah.

“Itu semakin membuktikan dalam kondisi yang sudah modern seperti ini, perempuan masih terkendala untuk mencapai gender equality,” pungkas Sartika.

Penulis : Dewi Yugi Arti

Editor : Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp