Keluarga Menempati Posisi Tertinggi Pelaku Kekerasan pada Anak di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Jovee

UNAIR NEWS – Pemenuhan hak anak di Indonesia masih dinilai kurang oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Zendy Wula Ayu Widhi Prameswari S H LL M (Jumat, 25/3/2022). Bahkan menurutnya, persentase tertinggi pelaku kekerasan pada anak ditorehkan oleh keluarga dan kerabat. 

“Keluarga dan pengasuhan alternatif memiliki jumlah kasus yang tertinggi sepanjang pengaduan KPAI dari tahun 2011,” ungkap Zendy. 

Mengutip dari data KPAI tahun 2011–2021, jumlah kasus pengaduan perlindungan anak meningkat setiap tahunnya. Kekerasan itu, lanjutnya, tidak hanya dalam bentuk fisik, namun juga dalam bentuk psikis seperti membe

ntak ataupun mengabaikan anak. 

“Kekerasan dapat membekas di batin sang anak yang akan mempengaruhi perkembangannya,” ujarnya. 

Beberapa penyebab terjadinya kekerasan anak, menurutnya, dipengaruhi teknologi dan informasi, permitivitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan anak, kemiskinan dan pengangguran, serta kondisi tempat tinggal yang tidak ramah pada anak. Dosen yang juga merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu juga memaparkan realita di Indonesia mengenai kurangnya perlindungan kasus kekerasan pada anak Indonesia. Salah satunya adalah budaya double victimization yang sering terjadi di Indonesia. 

Double victimization adalah saat korban melapor kepada pihak berwenang namun ditanggapi dengan sanggahan seperti ‘pantas saja dihukum, anaknya nakal toh’. Menurut Zendy, budaya itu menyebabkan banyak anak enggan melaporkan kasus kekerasan yang terjadi padanya.

Hal lainnya, Zendy menyebutkan kebiasaan pola pikir masyarakat Indonesia yang menilai bahwa anak nakal harus dihukum, kekerasan pada anak adalah suatu hal yang biasa. Padahal, lanjutnya, anak-anak harus mendapat perlindungan tidak lebih sedikit dari perlindungan yang didapatkan oleh orang dewasa.

Kemudian, belum adanya tindakan tegas dari negara terhadap kasus kekerasan pada anak ini juga termasuk ke dalam salah satu faktor yang dipaparkannya. “Mengenai status produk hukum ratifikasi CRC, kalau anda masih ingat tadi statusnya adalah keputusan presiden di tahun yang sudah lama sekali. Padahal dalam perkembangannya, produk hukum yg berkaitan dengan ratifikasi instrumen HAM itu seharusnya dalam bentuk undang-undang,” paparnya. 

Langkah yang dapat dilakukan Indonesia menurut Zendy adalah menekankan pada tindakan preventif untuk mencegah kekerasan pada anak dengan memberi edukasi kepada para orang tua. Berdasarkan data internasional Turki, tindakan itu terbukti efektif berhasil menurunkan tingkat kekerasan pada anak hingga 73 persen dalam jangka waktu dua tahun. Dalam hal ini, pemerintah juga memiliki kewajiban terhadap perlindungan hak anak di Indonesia.

Penulis: Alfiyya Rahmah

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp