Biomarker dalam Tubuh untuk Memprediksi Keterlambatan Ginjal dalam Berfungsi setelah Transplantasi Ginjal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh otcdigest.id

Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu masalah kesehatan serius di dunia, dan angka kejadiannya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pola makan yang tidak sehat dan aktivitas fisik yang jarang merupakan salah satu dari berbagai faktor resiko yang mengakibatkan terjadinya penyakit ginjal kronis. Jika tidak segera ditangani, maka pasien dengan penyakit ginjal kronis dapat jauh ke dalam kondisi gagal ginjal. Jika pasien sudah jatuh dalam kondisi tersebut, maka hanya ada 2 opsi pengobatan, yaitu cuci darah dan transplantasi ginjal. Namun karena cuci darah harus dilakukan terus menerus sepanjang hidup pasien selama 2-3x seminggu, pasien tidak bisa pergi jauh dan pasien tidak dapat beraktivitas seperti orang normal. Dibandingkan dengan cuci darah, kualitas hidup pasien yang menjalani transplantasi ginjal jauh lebih bagus. Oleh karena itu, transplantasi ginjal lebih banyak diminati oleh pasien jika ada kesempatan untuk menjalani prosedur tersebut. Dari sudut pandang ekonomi, transplantasi ginjal juga lebih ”Cost-effective” dalam jangka panjang dibandingkan dengan cuci darah.

Namun begitu, transplantasi ginjal bukanlah tanpa kendala. Donor dari orang yang masih hidup dan menyumbangkan ginjalnya akan memberikan fungsi ginjal yang lebih baik dibandingkan dengan donor post-mortem (donor yang diberikan oleh orang yang baru meninggal). Donor dari keluarga yang berhubungan darah akan lebih baik dibandingkan dengan donor dari orang yang tidak memiliki hubungan darah, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penolakan oleh system imun dalam tubuh. Selain itu juga, setelah dilakukan operasi transplantasi ginjal, ada kemungkinan ginjal tersebut mengalami keterlambatan dalam bekerja. Di dunia medis, kejadian ini diistilahkan dengan “Delayed Graft Function (DGF)”. Berdasarkan konsensus internasional, DGF didefinisikan sebagai kebutuhan untuk dilakukannya cuci darah setidaknya satu kali dalam waktu 7 hari setelah transplantasi ginjal dilakukan. Jika DGF ini terjadi, maka kemungkinan besar ginjal yang baru ditransplantasikan tidak akan berfungsi baik dalam jangka panjang dibandingkan dengan ginjal yang tidak mengalami DGF. Oleh karena itu, sangat penting untuk memprediksi kemungkinan terjadinya DGF pada pasien yang hendak melakukan transplantasi ginjal.

Pada penelitian kolaborasi yang dilakukan pada 806 pasien dari berbagai negara di Eropa, kami menguji satu biomarker yang terbilang baru, yaitu Endotrophin. Kami menemukan bahwa pada pasien sebelum transplantasi ginjal yang pada nantinya mengalami DGF, kadar Endotrophin dalam darahnya lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami DGF. Dengan perhitungan statistik, ditemukan bahwa orang dengan kadar Endotrophin yang tinggi memiliki resiko 2x lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kadar Endotrophin yang rendah. Karena kadar Endotrophin ini dapat diturunkan dengan pengobatan, maka ada peluang terapeutik yang bisa diberikan kepada pasien yang akan menjalani transplantasi ginjal untuk mencegah terjadinya DGF setelah tindakan transplantasi ginjal dilakukan.

Berdasarkan penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa dengan semakin berkembangnya kemajuan pengetahuan di bidang kedokteran, maka berbagai kejadian yang tidak diharapkan setelah tindakan terapeutik dapat dihindari / dicegah, termasuk juga di bidang transplantasi ginjal. Walaupun transplantasi ginjal belum banyak dilakukan di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain dikarenakan berbagai kendala, besar harapan penulis agar tindakan transplantasi ginjal ini dapat lebih banyak dilakukan di masa depan.

Penulis: dr. Firas Farisi Alkaff

Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada publikasi ilmiah kami di: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35260630/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp