Mengenal Eksistensi Seni Cukil di Tengah Masyarakat Urban

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ipung, Pegiat Seni Cukil dalam Workshop membagikan informasi awal mula kemunculan seni cukil pada Kamis (17/3/2022) (Foto: tangkapan layar Zoom Meeting)

UNAIR NEWS – Sebagai rangkaian dalam peringatan Dies Natalis Ilmu Sejarah Ke-24, Departemen Minat Bakat Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan workshop. Tepatnya pada Kamis (17/3/2022) secara daring. 

Mengangkat tema “Eksistensi Seni Cukil di Masyarakat Urban”, webinar yang juga termasuk dalam acara History Night (Hisnight) 2022 itu mengajak mahasiswa untuk mengenal lebih dalam seni cukil yang pernah eksis pada tahun 50-an. Dalam kesempatan tersebut, Ipung, pegiat seni cukil asal Jombang, membeberkan kemunculan awal seni cukil.

Awal Mula Kemunculan

“Jadi, seni ini eksistensinya berubah-ubah dari masa ke masa. Di Indonesia sendiri, seni cukil lahir dari kegelisahan-kegelisahan para seniman cukil dalam melihat kondisi sosial sekitar pada masa kolonial Belanda,” ucapnya.

Dari kemunculan tersebut, sambung Ipung, seni cukil mulai dikenal pada masa perjuangan. Media cukil kayu menjadi pilihan pertama untuk memproduksi poster perjuangan sebagai propaganda. Pengerjaan yang relatif cepat, bahan formatnya yang enteng, serta dapat diproduksi secara masal menjadi keistimewaan tersendiri.

Masa tersebut juga menjadi awalan sejarah seni grafis di indonesia yang dibuktikan dengan pameran seni cukil pada 17 Agustus 1964. “Pameran tersebut bukan semata-mata ditujukan untuk artistik saja, tetapi juga untuk memenuhi fungsi sebagai alat perjuangan melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di masa itu,” imbuhnya.

Perkembangan Seni Cukil

Selanjutnya, Ipung menerangkan tentang perkembangan seni cukil yang dibuktikan dengan kemunculan seniman cukil. Ada banyak seniman cukil di Indonesia.  

“Ada banyak sekali seniman cukil pada masa penjajahan. Di antaranya, Suromo, Sembiring, Tarmizi, Yab. Marah Djibral, dan banyak lagi,” ungkapnya.

Nama-nama tersebut, sambung Ipung, telah banyak melahirkan generasi yang mengembangkan seni cukil sampai saat ini. Meski, seni cukil mengalami pasang surut di masa orde baru dan muncul kembali pasca-reformasi.

Ipung, Pegiat Seni Cukil dalam Workshop “Eksistensi Seni Cukil di Masyarakat Urban”. (Foto: tangkapan layar Zoom Meeting)

Media Seni 

Terkait dengan teknik dan penggunaan media seni cukil, Ipung mengungkapkan bahwa umumnya seni cukil menggunakan teknik gores. Yakni, teknik seperti pahatan dengan metode bergaris.

“Untuk medianya, kalau dulu pake macam-macam. Ada yang dari batu, ketela, terus dari timun (buah-buahan, Red). Dalam perkembangannya, saat ini mungkin lebih gampang karena memakai kayu MDF (Medium Density Fiber)  atau triplek MDF,” katanya.

Dalam sesi tanya jawab, Ipung berbagi penjelasan kegiatan workshop seni cukil yang sering dilakoninya. Metode yang dilakukan adalah berinteraksi antar peserta tanpa sekat, seolah tidak saling mengurui. Ia juga berpesan audiens yang berminat belajar seni cukil dapat bertemu langsung atau mengadakan workshop.

“Untuk bisa belajar, mungkin kawan kawan bisa bertemu langsung di tempat saya Omah Cukil di Jombang. Atau teman-teman ada agenda untuk workshop di desa kawan-kawan atau di mana saya siap terjun ke sana,” katanya.

Melalui webinar itu, Ipung berharap seni tersebut tetap bertahan dan dikenal pada masa mendatang. “Untuk bisa eksis, ya tetap berkarya, meskipun tidak ada yang memandang. Untuk bisa menghidupi, ya membuat workshop pelatihan kayak gini di desa-desa atau kota agar seni ini tidak mati,” ucapnya.

Penulis: Affan Fauzan

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp