Neuromarketing: Filosofi dan Budaya Konsumerisme di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by The Columnis

Neuromarketing adalah sebuah ide revolusioner dalam ilmu ekonomi yang menggabungkan beberapa disiplin ilmu seperti ilmu saraf, psikologi dan ekonomi (khususnya pemasaran). Konsep dasar neuromarketing adalah mengandalkan rangsangan sensorik yang muncul ketika seseorang melihat rangsangan visual tertentu. Jika dikaitkan dengan bidang pemasaran, rangsangan visual dalam hal ini dapat berupa nama, merek, dan logo suatu produk tertentu.

Ide merangsang indra seseorang melalui pendekatan visual kini mulai menjadi andalan oleh berbagai merek di seluruh dunia, dan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas penjualan produknya secara lebih efektif. Bahkan, kini penggunaan suara, warna, suasana, sentuhan, bau, musik, dan arsitektur tertentu dari sebuah toko yang menjual suatu produk, dianggap memiliki pengaruh yang tak kalah menyenangkan bagi pelanggan, dan dengan sengaja membangun kesan positif tersebut, konsumen tidak hanya menjadi terkait dengan merek atau produk yang dijual, tetapi juga secara tidak sadar dipaksa untuk membeli dari toko tersebut dan kemudian merekomendasikannya kepada teman dan/atau keluarga mereka juga. Pendekatan ini sering digunakan oleh perusahaan yang serius mempelajari target konsumen mereka ketika mencoba untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka melalui prinsip-prinsip neuromarketing.

Studi mendalam tentang fenomena ini telah dilakukan dengan menggunakan pencitraan otak seperti MRI, EEG, PET, dll., untuk menilai reaksi psikologis konsumen terhadap produk, iklan, dan merek tertentu. Teknologi ini dikembangkan di Harvard pada tahun 1990, dan gagasan yang akhirnya dikenal sebagai neuromarketing didasarkan pada fakta bahwa 90% emosi disimpan dalam pikiran bawah sadar yang perlu dirangsang untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan dalam diri seseorang dengan memotivasi fungsi kognitif dan psikologis mereka yang membantu mereka mengembangkan perilaku memilih, misalnya, ketika membeli produk atau merek tertentu.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam satu dekade terakhir, dengan budaya konsumerisme yang besar, serta daya beli yang tinggi. Ini adalah beberapa faktor penting dan potensial dalam penerapan filosofi neuromarketing. Selain itu, Indonesia dengan populasi sekitar 250 juta orang, siap menjadi salah satu konsumen terbesar di pasar dunia dalam beberapa tahun ke depan. Dengan disrupsi teknologi yang mulai berkembang dan mendominasi pasar domestik, hal ini menjadi faktor lain yang dapat mempengaruhi penggunaan konsep neuromarketing dalam budaya konsumen.

Untuk memberikan kontribusi dalam bidang ini, sebuah kajian ilmiah dilakukan oleh Fauzi dkk., (2022) dari Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, penelitian yang telah diterbitkan dalam Malaysian Journal of Social Sciences and Humanities (Secholian Publication) ini bertujuan untuk menggali lebih dalam peluang dan tantangan dari ide neuromarketing, kaitannya dengan filosofi budaya konsumerisme di Indonesia.

Kajian ini melibatkan peninjauan beberapa literatur yang terkait dengan bidang ilmu saraf untuk membahas pendekatan filosofis dari penggunaan pikiran bawah sadar, budaya konsumerisme, dan penerapan neuromarketing di Indonesia saat ini yang diketahui berhasil memanfaatkan prinsip neuromarketing untuk mendongkrak penjualan mereka.

Pada penelitian ini, didapatkan hasil bahwa sebenarnya pendekatan neuromarketing ini, khususnya di Indonesia bukanlah tanpa tantangan, para penulis mengidentifikasi setidaknya ada beberapa masalah, baik yang terkait dengan etika, efektivitas produk, hingga alat penelitian yang mahal.

Pada akhirnya, penelitian ini mengungkapkan bahwa berdasarkan beberapa pendekatan ilmu, ditemukan bahwa kebanyakan orang membuat keputusan pembelian yang tidak rasional dengan bantuan pikiran bawah sadarnya. Banyak hal yang tidak terduga sebelumnya, ternyata menjadi pertimbangan konsumen dalam menentukan produk pilihannya. Adapun kritik yang diajukan mengenai penerapan neuromarketing ini, itu bisa menjadi pedang bermata dua; penerapannya bisa baik ataupun buruk, pada akhirnya, hasil yang diperoleh tergantung pada tujuan dan bagaimana sebuah perusahaan mengimplementasikannya. Hingga saat ini, neuromarketing masih merupakan konsep yang relatif baru dan belum diadopsi serta digunakan secara masif, termasuk di Indonesia. Namun, manfaat dan informasi yang dapat diberikan ilmu ini menunjukkan masa depan yang menjanjikan untuk penerapannya, meskipun dalam kenyataan empiris juga akan menghadapi tantangan serta budaya konsumerisme yang beragam dan berbagai isu terkait etika.

Penulis: ASRA AL FAUZI, MD, MM, PhD, FICS, FACS, IFAANS

Link jurnal: https://doi.org/10.47405/mjssh.v7i1.1237

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp