Menghindari Culture Shock

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Universitas Airlangga berusaha terus berkembang menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia dan di level internasional. Untuk itu, UNAIR terus menerus membutuhkan kader yang mumpuni. Banyak dosen muda maupun mahasiswa yang dikirim ke berbagai perguruan tinggi dalam maupun luar negeri untuk meneruskan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Tulisan ini ditujukan kepada para Ksatria Airlangga muda yang akan meneruskan studinya ke luar negeri.

Sering kita mendengar kata culture shock yang terjadi pada orang asing yang berada di negara lain, misalkan orang Jerman tinggal di Indonesia dan sebaliknya. Culture shock yang dialami seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri biasanya berlangsung selama sekitar tiga bulan. Kalau tidak diatasi, maka akan berpengaruh kepada yang bersangkutan dalam perkuliahan dan berinteraksi dengan masyarakat di suatu negara. Hal ini sangat menyedihkan karena bisa muncul rasa tidak nyaman tinggal di luar negeri, tidak krasan, merasa sendiri, dan perasaan lainnya.

Sebelumnya mari kita bahas apa itu culture atau budaya. Banyak para ahli yang mendefinisikan apa itu budaya, salah satunya adalah Philip R. Cateora dan John L. Graham yang mendefiniskan budaya sebagai the human made part of human environment the sum of total knowledge, beliefs, art, morals, laws, customs, and any other capabilities and habits acquired by human as members of society. Atau singkatnya budaya itu adalah bagian dari lingkungan manusia, jumlah pengetahuan yang dimiliki, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu budaya berbeda dari daerah atau negara satu dengan yang lain.

Lalu apa yang disebut culture shock atau gegar budaya itu? Itu merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perasaan terkejut, gelisah, keliru yang dirasakan apabila seseorang bersentuhan dengan kebudayaan yang berlainan sama sekali, seperti ketika berada di negara asing. Perasaan ini timbul akibat adanya perbedaan dan kesukaran dalam beradaptasi dengan budaya baru. Gegar budaya dapat mencakup aspek yang ada di kehidupan sehari-hari seperti makanan, cara berpakaian, harga barang, dan sebagainya. Semakin berbeda budayanya, semakin parah efek yang ditimbulkan.

Cara mengatasi masalah culture shock adalah dengan melihat budaya itu dengan kacamata netral, artinya tidak dengan perspektif kita sendiri. Orang Amerika Serikat berkacak pinggang menunjukkan sikap relax. Tapi kalau kita lihat dengan perspektif budaya Jawa, maka itu bisa berarti sombong. Orang Amerika memanggil orang yang lebih tua dengan njambal, misalkan “Hi, John” tidak pakai panggilan Pak. Bagi kita orang Indonesia panggilan njambal itu tidak sopan. Orang Arab memegang kepala lawan bicaranya itu dianggap biasa. Tapi kalau memegang pantat itu tidak sopan.

Orang Barat kalau berbicara dengan kita meminta kita menatap matanya: look up my eyes while I am speaking. Sementara kita tidak melakukan hal seperti itu misalkan bicara dengan orang tua. Budaya negara lain ada yang menabukan bertanya soal umur wanita, berapa gajinya, kenapa tidak menikah, agamanya apa, dan sebagainya. Karena hal-hal itu dianggap soal pribadi bukan persoalan orang lain. Saya pernah menasihati seorang diplomat asing yang metingkrang atau menyilangkan satu kakinya ketika duduk berhadapan dengan seorang kiai tua, untuk mengubah cara duduknya sambil saya terangkan bagaimana posisi seorang kiai di mata masyarakat.

Contoh-contoh di atas tidak berarti bahwa budaya orang lain lebih baik dari kita dan begitu sebaliknya. Kalau kita melihat budaya orang lain dengan cara pandang budaya kita, maka kita pernah mendengar pernyataan bahwa budaya orang Arab tidak sebaik budaya kita.

Bagi para Ksatria Airlangga muda yang berencana melanjutkan studi keluar negeri sebaiknya mempelajari lebih dulu budaya di negara dimana mereka berada agar tidak mengalami gegar budaya atau culture shock. Demikian sebaliknya. Universitas Airlangga perlu memberikan penjelasan tentang budaya Indonesia bagi mahasiswa asing yang ingin melanjutkan studinya di UNAIR agar mereka lebih nyaman kuliah di UNAIR dan tinggal di Indonesia.

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.