Belajar dari Bolivia untuk Bangsa

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Kalau kita ingin negara kita ini maju pesat di berbagai bidang maka kita juga harus memperhatikan berbagai variabel yang membuat kita itu maju. Misalkan kualitas SDM kita yang makin baik, lingkungan kita terjaga dengan baik, produk-produk kita dibuat dengan nilai tambah teknologi sehingga kita mampu bersaing, pengangguran dan kemiskinan harus turun angkanya, konflik SARA harus dihindari, dan sebagainya. Variabel lainnya yang kita harus juga perhatikan yaitu apa yang sedang terjadi di arena global, misalkan perang dagang Amerika Serikat dengan Cina yang tak kunjung reda, konflik Rusia dan Ukraina, Inflasi di Amerika Serikat, ketegangan di kawasan laut Cina Selatan, perang di Yaman, Syria, Libya, dan di beberapa negara Afrika seperti di Mali, Sudan, D.R. Conggo.

Semua variabel itu perlu menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia karena semuanya bisa berpengaruh terhadap perjalanan bangsa kita. Misalnya kekacauan politik di suatu negara menyebabkan menurunnya perekonomian, dan menjadi efek domino karena permintaan produk dari negara lain (misalnya Indonesia) juga akan turun. Kalau kita tidak hati-hati, kejadian politik di negara lain bisa terjadi di negeri kita ini.

Saya ambil satu contoh saja dari berbagai kejadian di atas untuk menjadi pelajaran bagi kita menuju masa depan yang lebih baik- yaitu negara Bolivia. Negeri di belahan benua Amerika latin/selatan itu pada tahun 2019 menyelenggarakan pemilu, dimana mantan presiden Evo Morales (dari kalangan pribumi Bolivia) ikut mencalonkan diri. Pak Morales ini beraliran kiri dan tentunya anti dominasi Amerika Serikat di Amerika Selatan. Dia menang dalam pemilu itu tapi diprotes oleh pesaingnya, menuduh kemenangannya itu dilakukan dengan cara curang, lalu mengerahkan ribuan pendukungnya turun ke jalan.

Demonstrasi itu berlangsung berhari-hari dan mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Evo Morales si pemenang dengan kemauannya sendiri demi keamanan dan perdamaian di negaranya keluar dari negaranya dan minta suaka politik di Mexiko. Tentu dia menuduh Amerika Serikat sebagai dalang dalam kekisruhan di Bolivia, dan memang pesaingnya Evo Morales didukung Amerika Serikat. Ketua DPR Bolivia mengklaim dirinya sebagai presiden sementara dan dapat diduga dia didukung Amerika Serikat. Dan Evo Morales berjanji akan kembali ke negaranya bila diminta para pendukungnya.

Akibat perubahan politik itu, sekarang ganti ribuan penduduk pribumi Bolivia pendukung setia mantan presiden Evo Morales yang umumnya rakyat jelata, petani, pekerja orang miskin – turun ke jalan memprotes pemerintahan baru. Pihak militer dan polisi menanggapi demonstrasi ini dengan brutal dengan melakukan penembakan-penembakan. Negara menjadi kacau balau, listrik mati, perdagangan berhenti, dimana-mana terjadi kebakaran akibat kerusuhan.

Para pendukung pemerintahan baru juga bertindak brutal memukuli pendukung Morales dan malahan menghentikan seorang walikota perempuan bernama Patricia Arce yang sedang menuju gedung kantor walikota. Mereka menyeret dan menyandera walikota ini di tengah jalan, dipaksa duduk, diteriaki di maki-maki dengan kata-kata keras, rambutnya digunduli, wajahnya dicorat-coret dengan cat dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Dengan wajah lusuh seperti maling yang ramai-ramai digebuki masa, walikota perempuan ini pasrah tidak bisa berbuat apa-apa.

Di depan TV yang mewancarainya, walikota wanita ini megatakan sambil menangis bahwa anak-anaknya malu melihat ibunya diperlakukan seperti itu. Menggunduli rambut wanita adalah teknik yang pernah dipakai di negara-negara Eropa pasca perang dunia II, seperti di Perancis, dimana wanita-wanita yang dianggap dekat dengan tentara Nazi Jerman ditangkap, digunduli rambutnya dan diarak di jalan raya dan orang-orang yang menontonnya meludahi wajah mereka. Ini adalah cara membuat wanita-wanita itu malu karena dianggap wanita nakal, wanita hina-dina.

Mengaca pada kejadian tahun 2019 itu saya bersyukur karena tidak ada kejadian seperti itu di negeri kita ini dimana walikota wanita dipermalukan di depan publik. Malahan Gubernur wanita seperti di Jawa Timur, walikota / bupati wanita seperti dulu di Surabaya dan kota-kota lainnya dihormati para warganya karena melihat kinerja mereka yang berlomba-lomba untuk memajukan, mempercantik kota dan daerahnya dan berjuang mengangkat harkat warganya baik di bidang pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.

Kalau kita tidak pernah belajar dari sejarah dan kejadian-kejadian seperti itu di belahan bumi lainnya, maka kita tidak akan bisa mawas diri dalam mengelola bangsa terutama dalam hal kerukunan antar masyarakat sebagai prasyarat untuk bisa maju. Kita tidak bisa berargumen bahwa kita bangsa yang santun dan tidak mungkin hal seperti di Bolivia itu terjadi. Argumen seperti itu tidak selamanya benar, karena dengan kemajuan teknologi inoformasi seperti sekarang ini, apapun bisa mempengaruhi bangsa kita bila kita tidak berhati-hati mengelola bangsa kita yang besar dan mejemuk ini.

Peran perguruan tinggi dalam ikut serta mengelola negara dengan lebih baik adalah sangat penting. (*)

Berita Terkait

Ahmad Cholis Hamzah

Ahmad Cholis Hamzah

Contributor of Media UNAIR, Alumni of Faculty of Economics Airlangga University’73 and University of London, UK.