Mengenal Professor Peter Mahmud Marzuki, 100 Peneliti Hukum Terbaik Dunia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Guru Besar FH UNAIR Prof. Peter Mahmud Marzuki (Foto: Pradnya Wicaksana)

UNAIR NEWS – Guru Besar FH UNAIR Prof. Peter Mahmud Marzuki tercatat sebagai salah satu World Top 100 Law & Legal Studies Scientists. Apabila menilik data pada AD Scientific Index, publikasinya telah disitasi dalam publikasi lain sebanyak 2557 kali dengan skor H-index sebesar 25. Pencapaian itu dijadikan momentum oleh tim redaksi untuk mengeksplor terkait kisah kepakaran seorang Prof. Peter.

Karir akademiknya dimulai dengan menjadi asisten pengajar di FH UNAIR pada tahun 1974, ketika ia masih menjadi mahasiswa S1. Pada kala itu, keasistenannya dibawah supervisi Pakar Hukum Tata Negara Prof. Abdoel Gani. Selanjutnya, Prof. Peter menambahkan bahwa posisi ini krusial dalam perjalanan hidupnya. Di waktu yang sama ia berniat menjadi asisten pengajar, ia juga mendapat tawaran menjadi bagian dari suatu perusahaan swasta berbasis energi.

“Disinilah saya mengembangkan kepakaran saya di bidang hukum tata negara, karena bimbingan Prof. Koentjoro. Setelah saya lulus sarjana di tahun 1977, saya masih terus berbicara mengenai hukum tata negara ketika saya menjadi mahasiswa magister di FH UNAIR. Tesis saya kala itu membahas terkait pentingnya kabupaten/kota diberikan otonomi daerah, karena kala itu di tahun 1982 masih belum ada. Akhirnya pada tahun 1999, teori saya terealisasikan melalui upaya desentralisasi pasca Orde Baru,” ujar pria kelahiran tahun 1949 itu.

Setelah itu, perjalanan akademiknya membawanya ke negeri Paman Sam. Prof. Peter kembali menempuh studi magister di Washington College of Law, Washington DC dan lulus pada tahun 1986. Kali ini, ia berganti fokus untuk mempelajari international trade law (hukum perdagangan internasional). Dari sinilah, Prof. Peter mulai mengembangkan bidang hukum bisnis dalam pendidikan hukum di Indonesia, yang kala itu masih asing dan masih dikenal dengan istilah ‘hukum ekonomi’ atau ‘hukum dagang.’ Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum,” Prof. Peter juga mengatakan bahwa disinilah pula ia mengembangkan teori sui generis dalam penelitian hukum. Teori ini pada dasarnya berdalih bahwa penelitian hukum bukan merupakan bagian dari penelitian sosial, melainkan merupakan suatu penelitian tersendiri.

“Saya kurang setuju dengan istilah hukum ekonomi, karena menurut pemikiran orang Amerika itu erat dengan konotasi intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Sementara hukum bisnis, konotasi istilahnya dititikberatkan pada kontrak antara para pihak,” ujarnya pada UNAIR NEWS (14/2).

Gelar doktor yang digondol Prof. Peter pada tahun 1993 semakin memantapkan pandangannya terhadap bagaimana negara harus berperan dalam perekonomian. Dalam disertasinya, ia mengkritisi konsep negara kesejahteraan dan mendukung perekonomian negara yang berbasis pasar.

“Saya percaya bahwa privatisasi dalam perekonomian harus digencarkan selama tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945. Apabila suatu sektor usaha dikuasai oleh BUMN secara murni, maka pola pikirnya dalam menjalankan usaha akan birokratis. Namun apabila sektor swasta yang memegang, maka pola pikirnya akan entrepreneurial dan berbasis profit. Dari sini, maka perusahaan akan mengeluarkan produk-produk yang lebih variatif dengan kualitas yang lebih bagus, karena apabila tidak maka akan kalah saing dengan perusahaan lain di bidang usaha yang sama,” paparnya.

Pemikiran-pemikiran itu kemudian ia kembangkan dalam legislasi di Indonesia terkait hukum bisnis. Menurut Prof. Peter, beberapa undang-undang yang berhasil gol dengan buah pikirnya adalah seperti UU 8/1995 tentang dan beberapa aspek dari UU 5/1999.

Merefleksikan perjalanan kepakarannya dan penghargaan top scientist yang ia peroleh, Prof. Peter menyematkan rasa optimis terhadap masa depan FH UNAIR. Ia bangga bahwa FH UNAIR telah menjadi fakultas hukum terbaik di Indonesia secara peringkat. Ia juga berharap bahwa teori-teori yang ia kembangkan dapat diajarkan ke generasi yuris berikutnya sesuai dengan kebutuhan dan kemauan mahasiswa.

“Saya diwejangi oleh Prof. Koentjoro kalau mengajar itu seperti menerima tamu dengan bahan sajian singkong. Kalau misal tamunya suka kolak, ya singkongnya harus dikolak. Kalau tamunya suka singkong goreng, ya singkongnya digoreng. Dosen harus tahu kemauan dan kebutuhan mahasiswa dalam belajar hukum, dan harus diarahkan kesitu. Misal sekarang trennya adalah terkait digitalisasi dalam dunia usaha, ya pengajarannya harus diarahkan kesitu,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp