Produksi Udang di Indonesia mengalami peningkatan secara dramatis dalam dekade terakhir, nilai ekspor berkisar antara 220,000 ton ke Amerika Serikat dan 260.000 ton dan sebanyak 60%, 19%, dan 5% dari total produksi udang diekspor ke Jepang dan Eropa Serikat pada tahun 2018. Selanjutnya dinyatakan bahwa di antara udang diekspor pada tahun 2018 tersebut, sekitar 80% adalah udang putih pasifik yang dikenal dengan nama Litopenaeus vannamei (Rubel dkk., 2019). Di Indonesia udang vaname (L. vannamei) ini secara resmi sudah dikembangkan melalui budidaya untuk menggantikan udang windu (Penaeus monodon) yang mengalami kematian karena adanya serangan penyakit yang sangat mendadak, antara lain penyakit bintik putih yang disebabkan oleh virus (WSSV) . Udang vaname ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan udang windu karena pertumbuhan yang cepat dan ketahanan yang tinggi terhadap penyakit (Mahasri et al., 2019), dapat dibudidayakan pada padat tebar tinggi, mempunyai kemampuan beradaptasi yang lebih besar terhadap salinitas rendah, toleransi yang lebih baik terhadap toksisitas amonia dan nitrit, serta kelangsungan hidup yang tinggi dan kerentanan yang lebih rendah terhadap diet yang diformulasikan (Biju et al., 2016; Liao dan Chien, 2011).
Enterocytozoon hepatopenaei (EHP), parasit mikrosporidia yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan udang vaname yang menyeran pada hepatopankreasnya. Baru-baru EHP ini merupakan infeksi yang muncul dan menyerang udang vaname terutama pada tambak intensif maupun super intensif di Indonesia. Budidaya udang dengan padat tebar tinggi baik intensif maupun super intensif dapat menyebabkan terbatasnya ruang gerak udang, sisa pakan dan feses yang tinggi, sehingga menyebabkan tingginya bahan organic. Apabila terjadi penurunan oksigen maka proses pembongkaran bahan orgnaik akan terhambat dan menyebabkan tingginya kadar Nitrit (NO2) dan amoniak (NH3) yang dapat menyebabkan udang keracunan dan bahkan menyebabkan kematian. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi nitrit dan amonia dengan Infeksi EHP di tambak super intensif. Udang dan sampel air diambil dari dari enam tambak budidaya super intensif dengan kepadatan 400 ekor/meter persegi di Pasuruan, Lamongan, dan Kabupaten Tuban. Sampel air dibawa ke laboratorium untuk pengukuran amonia dan nitrit. Sampel amonia dan nitrit dideteksi oleh spektrofotometer, dan pemeriksaan EHP dengan menggunakan PCR yang digunakan untuk mendeteksi 18S rRNA dari EHP. Hasil analisis penyakit udang dengan PCR yang menunjukkan bahwa dua sampel positif EHP dari tambak dengan konsentrasi amonia dan nitrit yang tinggi.
Analisis statistik menunjukkan adanya korelasi (hubungan) yang signifikan antara amonia dan nitrit dengan prevalensi udang yang terinfeksi EHP, di mana korelasi Pearson (r) adalah 0,980 dan 0,943. Ada prevalensi tinggi infeksi EHP meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi nitrit dan amonia di tambak intensif dan super intensif.
enam. Konsentrasi lebih dari 1mg/l amonia dan nitrit dapat mempengaruhi EHP prevalensi infeksi di tambak udang.
———————————————–
Penulis: Dr. Gunanti Mahasri, Ir., M.Si.
Departemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga
Informasi lebih detail dari penelitian ini dapat ditemukan pada jurnal ilmiah pada Jurnal berikut ini:
Nkuba, A. C., Mahasri, G., Lastuti, N. D. R., & Mwendolwa, A. A. (2021). Correlation of Nitrite and Ammonia Concentration with Prevalence of Enterocytozoon hepatopenaei (EHP) in Shrimp (Litopenaeus vannamei) on Several Super-intensive Ponds in East Java, Indonesia. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 13(1):58–67. http://doi.org/10.20473/jipk.v13i1.24430.