Kemenkes Malaysia Paparkan Perubahan Iklim Tingkatkan Risiko Penyakit Tular Vektor

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Nyamuk Anopheles. (Foto : Wikipedia.org)

UNAIR NEWS – Perubahan iklim akibat pemanasan suhu global memiliki banyak dampak negatif bagi kehidupan manusia. IPCC (Intergovernmental Panel of Climate Change) pada tahun 2018 menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 – 2 oC dapat menyebabkan masalah serius bagi ketersediaan air, keamanan pangan, mata pencaharian dan ekonomi global apabila tidak segera ditangani.

Selain itu, Dr. Rohaida Ismail selaku Pakar Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Malaysia mengungkapkan bahwa kenaikan suhu bumi juga dapat meningkatkan risiko penyakit tular vektor. Hal itu ia sampaikan dalam kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UNAIR, Senin (31/01) lalu.

Dirinya menjelaskan bahwa salah satu vektor penyakit yang beresiko tinggi di kawasan Asia adalah nyamuk. Ia mengungkapkan berdasarkan data dari WHO, kawasan asia memiliki jumlah kematian akibat kasus penyakit malaria dan demam berdarah tertinggi nomor 2 setelah Afrika. Ia juga mengungkapkan jika tidak ada upaya untuk mengawal perubahan iklim maka angka kematian akibat malaria dan demam berdarah bisa mencapai 2,700 jiwa dalam satu tahun.

“Karena seperti yang kita ketahui, vektor penyakit seperti nyamuk bisa mentransmisikan penyakit hanya dalam sekali gigitan, dan mereka bisa mengancam kita dimana saja serta kapan saja,” ujarnya. 

Dirinya melanjutkan, kawasan yang bersuhu dingin seperti Amerika, Australia, China dan Eropa akan mengalami peningkatan suhu akibat pemanasan global. Hal itu berpotensi menyebabkan penyakit malaria bisa terdistribusi luas di negara yang ada di kawasan tersebut karena dapat mempercepat masa inkubasi ekstrinsik (siklus sporogoni dalam tubuh,-red) nyamuk Anopheles.

“Yang saat ini angka kejadian malaria hanya terbatas pada kawasan yang beriklim tropis bisa menyebar luas di banyak wilayah akibat peningkatan suhu. selain itu, akibat perubahan iklim, beberapa wilayah di Amerika dan Asia penyakit malaria berpotensi menjadi sebuah epidemi,” ungkapnya.

Hal serupa juga terjadi pada kasus penyakit demam berdarah. Ia mengungkapkan, pada suhu panas (26-35oC) nyamuk akan lebih aktif menggigit. Selain itu, pada suhu yang panas perkembangan nyamuk dari larva hingga dewasa juga semakin singkat. Oleh karena itu, peningkatan suhu beresiko untuk terjadi outbreak penyakit demam berdarah.

“Selain itu, peningkatan temperatur juga dapat mempercepat replikasi virus dengue dalam nyamuk Aedes aegypti serta dapat mempersingkat masa transmisi dari virus,” imbuhnya.

Pada akhir Dr. Rohaida menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya menekan kasus kematian akibat malaria dan demam berdarah salah satunya melalui peningkatan kesadaran masyarakat. Ia juga menjelaskan bahwa melibatkan masyarakat dalam praktek pencegahan penyakit malaria dan demam berdarah adalah hal yang harus dilakukan. Karena dengan itu masyarakat bisa melakukan pencegahan sejak dini terhadap penyakit malaria dan demam berdarah.

“Dan dari pemerintah kita lakukan upaya preventif berupa monitoring terutama di daerah-daerah terpencil sehingga ketika ditemukan kejadian penyakit bisa segera diobati sebelum terjadi penularan,” pungkasnya. (*)

Penulis: Ivan Syahrial Abidin

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp