Tradisi Remo dalam Komunitas Blater di Madura

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Flickr

Secara geografis dan sosial budaya, pulau Madura yang dikelilingi laut dan dekat dengan Pulau Jawa memiliki keunikan tersendiri. Letak geografis dataran tinggi kapur mempengaruhi karakter masyarakat Madura. Begitu pula dengan sosial budaya di Madura. Setelah jembatan Suramadu dibangun, mobilitas dan akses informasi masyarakat Madura jauh lebih mudah. Namun di sisi lain, masyarakat Madura khususnya Bangkalan memiliki budaya yang sulit diubah sehingga hingga saat ini stereotip negatif masyarakat Madura tetap melekat. Kemudahan akses informasi ini menyebabkan dinamika budaya di Madura semakin beragam dimana terjadi perubahan budaya di masyarakat. Meskipun mengalami perubahan ini, namun budaya tradisional tetap ada dan eksis, salah satunya adalah budaya tradisi Remo.

Dalam masyarakat Madura Barat—di kota Bangkalan dan Sampang—terdapat kelas sosial yang tidak sama dengan struktur masyarakat pada umumnya. Mereka menyebut diri mereka blater, yang memiliki tradisi yang mereka sebut remo. Gaya hidup individu ini juga berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Tradisi remo pada masyarakat blater merupakan warisan nenek moyang orang Madura. Tradisi remo yang lebih dikenal luas di Madura Barat (Sampang dan Bangkalan), merupakan ajang pertemuan para juara blater dari seluruh wilayah pulau Madura bahkan dari pulau Jawa. Tradisi remo yang muncul dan mengakar di Pulau Madura ternyata berkembang di masyarakat perkotaan, di Bangkalan dan Sampang. Tradisi remo ini masih berlanjut sampai saat ini.

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian dilakukan dengan cara menyaksikan praktik tradisi Remo pada masyarakat Madura khususnya di Madura Barat yaitu di wilayah Bangkalan dan Sampang. Wilayah-wilayah tersebut dipilih karena komunitas Blater sebagian besar berada di wilayah tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan observasi partisipan. Informan kunci adalah anggota komunitas blater, seperti penari (lengge’) dan penari Remo. Salah seorang informan menjadi anggota sejak tahun 1972. Seorang informan lainnya adalah tokoh masyarakat blater di Bangkalan. Ia menjadi pemimpin komunitas ini sejak tahun 1982. Saat ini ia berusia 60-an, namun ia tetap menampilkan tari sandur sebagai lengge dalam setiap tradisi remo di Bangkalan. Ia mengatakan ingin melestarikan budaya lokal Madura. Secara keseluruhan, kami mewawancarai 10 (sepuluh) informan. Nama awal mereka adalah DW, SM, AD, TRM, KM, SHD, SY, FR, SHd, dan Rsd, dari Januari hingga Juli 2019. Analisis data menggunakan kategorisasi, dan triangulasi data.

Hasil penelitian

Tradisi remo pada komunitas blater sudah ada sejak lama sebagai warisan nenek moyang orang Madura. Tradisi remo yang lebih dikenal di Madura Barat (Sampang dan Bangkalan) menjadi ajang pertemuan para juara blater dari seluruh pulau Madura bahkan dari pulau Jawa. Remo ini diharapkan dapat menjadi media untuk menumbuhkan rasa kebersamaan antar blater sebagai seseorang yang memiliki kesamaan latar belakang, nenek moyang yang sama, dan juga tujuan yang sama. Oleh karena itu, dengan remo, para blater beranggapan dapat mempererat tali silaturrahmi dan kebersamaan baik dalam komunitasnya sendiri maupun dengan komunitas lain.

Remo sebagai Sarana untuk Harga Diri Blater.

Dalam tradisi Remo, setiap anggota kelompok pada dasarnya memiliki motivasi tersendiri dalam memutuskan mengikuti acara ini, meskipun harga diri menjadi faktor utama. Dalam kehidupan masyarakat Madura, harga diri merupakan hal yang sangat penting dan memiliki nilai yang sangat tinggi. Seorang anggota komunitas blater memiliki harga diri yang sangat tinggi ketika mengikuti tradisi remo. Hal ini sesuai dengan filosofi orang Madura yang mengatakan bahwa “ango’ pote tolang atebhang pote mata”, artinya lebih baik mati daripada hidup dalam malu. Dalam hal ini, seseorang yang mengikuti tradisi remo dianggap dapat merepresentasikan dirinya sebagai individu yang memiliki harga diri tinggi, atau dengan kata lain seseorang yang mengikuti tradisi remo dapat meningkatkan harga dirinya dengan cepat. Juga jelas bahwa ada hubungan yang erat antara harga diri dan tradisi remo.

Simpulan             

Tradisi remo merupakan sarana bagi anggota blater untuk menunjukkan gengsinya di masyarakat dengan memamerkan kekayaannya yang memberikan harga diri yang sangat tinggi bagi orang Madura. Selain itu, tradisi Remo bertujuan untuk mencari hubungan dengan orang-orang terkemuka di antara anggota blater. Sedangkan dari sisi modal sosial, tradisi Remo memiliki efek jangka panjang, bukan pengembalian finansial yang cepat. Namun, efek sosialnya lebih berarti bagi anggota blater, dan masyarakat tempat mereka tinggal.

Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa Dalam masyarakat Madura, itu berupa tradisi remo. Keberadaan ini diperlukan sebagai bentuk pengakuan dari masyarakat bahwa manusia memiliki kekuatan modal simbolik, modal sosial, modal budaya dan modal ekonomi.

Penulis: Dinara Maya Julijanti, Myrtati Dyah Artaria, Yayan Sakti Suryandaru, Sharyn G. Davies

Link: https://www.e-journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/view/27231

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp