Penerapan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia dan Permasalahannya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Dunia masih berada dalam bayang-bayang pandemi COVID-19 yang menyebar lebih cepat dari pandemi lain dalam sejarah manusia. Krisis sosial dan ekonomi juga menjadi salah satu akibat pandemi yang menyerang banyak keluarga, komunitas, serta negara di seluruh dunia.

Untuk sekarang, kasus infeksi COVID-19 di Indonesia sudah mulai menunjukan penurunan. Per 24 Desember 2021, kasus infeksi baru yang terdeteksi adalah 204 dengan rata-rata kemunculan adalah 181 kasus per 7 hari. Hasil tersebut telah menunjukan penurunan kasus yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan puncak kejadian kasus pada 15 Juli 2021 dengan jumlah kejadian kasus baru 56.757 dan rata-rata kejadian per 7 hari adalah 44.145 kasus (Satuan Tugas Penanganan COVID-19., 2021). Penurunan yang begitu signifikan ini menunjukan hasil dari usaha masyarakat dan pemerintah untuk menurunkan angka kejadian kasus Covid-19. Salah satunya adalah dengan pelaksanaan vaksinasi secara masal pada seluruh masyarakat. 

Vaksinasi COVID-19 di Indonesia

Program vaksinasi COVID-19 di Indonesia pertama kali dilakukan pada 13 Januari 2021 di Istana Kepresidenan dan Presiden Indonesia, Joko Widodo menjadi orang yang pertama kali menerima vaksinasi COVID-19 buatan Sinovac. Setelah itu vaksinasi diikuti oleh pejabat pemerintahan yang lain, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan perwakilan organisasi serta profesi yang lainnya. Per 24 Desember 2021, jumlah total individu yang telah divaksinasi di Indonesia adalah 155.414.524 individu dengan minimal 1 dosis vaksinasi (56,8% dari total populasi Indonesia) dan 109.955.752 individu dengan vaksinasi lengkap (40.2% dari total populasi Indonesia) (Satuan Tugas Penanganan COVID-19., 2021). Dengan hasil demikian, setidaknya sekitar separuh dari penduduk Indonesia telah mendapatkan vaksinasi walau belum mencapai persentase yang cukup untuk dinyatakan sebagai herd immunity.

Permasalahan dalam Penerapan Vaksinasi di Indonesia

Indonesia sendiri per 6 Januari 2021 telah mendatangkan 122,5 juta dosis vaksin Sinovac, 50 juta dosis dari Novavax, 54 juta dosis dari COVAX/Gavi, 50 juta dosis dari AstraZeneca, dan 50 juta dosis dari Pfizer. Nantinya akan didistribusikan ke 34 Provinsi di Indonesia per 7 Januari 2021 dan pelaksanaan vaksinasi dilakukan di minggu kedua Januari 2021 setelah dikeluarkannya Emergency Use Authorization oleh BPOM (Iskandar dkk., 2021). 

Masalah yang paling banyak muncul dari pelaksanaan vaksinasi ini adalah ketidakyakinan masyarakat untuk divaksinasi. Hal yang sering diperdebatkan adalah keamanan atau efikasi vaksin COVID-19 yang terkesan dibuat secara tergesa-gesa dan kehalalan dari vaksin itu sendiri.

Keamanan dan Efikasi Vaksin COVID-19

Karena pengerjaan dan pelaksanaannya dilakukan dengan sangat mendadak membuat keamanan dan efikasi dari tiap vaksin yang dipakai dipertanyakan oleh banyak orang. Untuk Sinovac sendiri, dalam uji klinis fase 3 yang dilakukan di UNPAD Bandung, Jawa Barat mendapatkan efikasi sebesar 65,3% dari 1620 orang yang dijadikan subjek. Untuk Pfizer, efikasi yang didapatkan adalah sebesar 70% di Brazil dan Inggris serta mencapai 95% pada uji klinis yang dilakukan di Amerika Serikat. Untuk AstraZeneca mendapatkan efikasi sebesar 62,10% setelah dilakukan uji klinis pada populasi yang luas. Selanjutnya adalah vaksin Novavax yang mendapatkan efikasi 96% setelah dilakukan uji klinis di Inggris. Semua vaksin yang telah didistribusikan di Indonesia telah mendapatkan efikasi yang lebih tinggi dari standar yang diberikan oleh WHO yaitu sebesar 50% sehingga penggunaannya tidak perlu terlalu diragukan lagi (Iskandar dkk., 2021). 

Kehalalan Vaksin COVID-19

Untuk menentukan kehalalan vaksin sendiri di Indonesia ditetapkan oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan mendasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok diikuti dengan pendapat dari para ahli. 

Dalam pengembangan vaksin COVID-19 sendiri terdapat beberapa vaksin yang ditetapkan sebagai haram diantaranya Pfizer, AstraZeneca, dan Sinopharm. Tetapi sebuah vaksin “haram” akan diperbolehkan (mubah) manakala terjadi kondisi : 1. Kebutuhan yang mendesak (hajar syar’iyyah) yang menduduki kondisi darurat syar’iy (dilarurah syar’iyyah); 2. Terdapat keterangan dari ahli yang berkompeten dan terpecaya tentang adanya bahaya (risiko fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19; 3. Ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 sebagai ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity); 4. Ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah; dan 5. Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 menginat keterbatasan vaksin yang tersedia (Fatwa MUI No. 14 Tahun 2021).

Kesimpulan

Dari semua data yang bisa dilihat, diketahui bahwa penerapan vaksin COVID-19 di Indonesia sudah sangat berkembang dan hampir mencapai herd immunity. Dan untuk permasalahan dari segi keamanan dan kehalalan juga sudah dibuktikan keamanannya dari tiap uji klinis yang sudah dilakukan serta bagi vaksin yang ditetapkan haram tetap diperbolehkan penggunaanya oleh MUI karena keterbatasan dan kedaruratan penggunaanya agar segera dilakukan.

Penulis: Yudha Kurniawan, S.KH

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp